Minggu, 23 Februari 2014

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL
            1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta langkah yang mulia.
            Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan. [1]
            2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari  jiwa mereka  akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]
A.    PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH
Pada  awal mulanya, islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[3]
B.     PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk berselisih dalam hukum.
2.      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari suatu pertanyaan.
3.      Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD
          Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
          Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan, karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]
          Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu masalah persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan. Seperti:
“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu dan mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama, karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]
          Pada masa sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara menjelaskan dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku pengganti Rasulullah. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan banyak dari kalangan sahabat sebagai Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam mengaktualkan ijtihadnya. Mereka mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak ada ketetapannya menurut konteks nash.[7]
      
          Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat, sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]
          Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan terjadi.[9]
SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN
Ø  Masa Rasul
         Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum yang wajib diikuti.
         Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.[10]
Ø  Masa Sahabat
         Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan islam. Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.
         Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi mereka untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm Alqur’an dan Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan bagi mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]
        Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:
1.      Alqur’anul Karim
2.      Sunnah Rasulullah
3.      Ijtihad Sahabat.
Ø  Masa Tabi’in
         Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.[12]
Ø  Masa Keemasan
         Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:
1.      Al qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan, istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.
           Kalau seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam Alqur’an atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam Alqur’an dan Sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristinbat dan beristinbat dengan metode istinbat yan ditunjukkan syari’at.[13]
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN
       
         Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh), penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]
         Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada periode ini cukup banyak, diantaranya:
1.      Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
2.      Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.
3.      pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
4.      Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.
5.      Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]
6.      Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’, seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
7.      Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an dan As sunnah serta Ushul Fiqh.
8.      Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain yang tidak familiar sebelumnya.
9.      Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT
RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)


[1] Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14
[2] Ibid., hlm. 14
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9
[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17
[5] Ibid., hlm. 17-18
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11
[7] Ibid., hlm. 46
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70
[9] Ibid. hlm. 105
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13
[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59
[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82
[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73

Psikologi Agama (psokoreligius)

Psikologi Agama (psokoreligius)

1. Pengertian Psikologi Agama

Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-ruh. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda (Liza, 2009: 2). Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Menurut Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.


Menurut Drajat (2008: 2), bahwa psikologi agama berkaiatan dengan pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi (Liza, 2009: 2). Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak, apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.

Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiris tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia (Liza, 2009: 3).

Psikologi agama dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan. Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.

Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama adalah perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa: (1) Gejala-gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan; dan (2) Proses hubungan antara psikis manusia dan tingkah laku keagamaannya.

2. Objek Kajian Psikologi Agama

Objek dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala- gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara keduannya. Dengan kata lain, psikologia agama membahas tentang kesadaran agama (religious counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Dengan demikian, yang menjadi lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Objek pembahasan psikologi agama adalah gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya (Sholoe, 2008:3).

3. Pandangan Psikologi Tentang Agama Pada Remaja

Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian yang berkaitan dengan kondisi pikirannya, yaitu:
a. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak-anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negatif
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen Luella Cole sebagaimana dikutip kembali oleh Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1) Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2) Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3) Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4) Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali (Sholoe, 2008: 4).

Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu (Sholoe, 2008: 4):
a. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
b. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
c. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
d. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Remaja merupakan fase yang belum stabil dan masih banyak mengalami perkembangan dalam sisi kejiwaan. Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
a. Percaya ikut-ikutan
Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
b. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
1) Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid‟ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
2) Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid‟ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi agak ragu-ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
1) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
2) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
3) Tidak percaya atau cenderung ateis. Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan

Selasa, 17 Desember 2013

HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA

  • HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMAS
  •  
  •  
  •  
  • udah menjadi kesepakatan di kalangan jumhur muhadisin danushuliyyin, bahwa al hadis menjadi sumber rujukan hukum yang kedua setelah alqur’an. Andaikata al hadis hanyalah berupa laporan-laporan sejarah sebagaimanakitab sirah-nya ibnu Hisyam, atau sekedar sejarah perjuangan bersenjata nabisebagaimana kitab al maghaziy-nya al Waqidiy, tentunya para ulama tidak begitumemperhatikan dan mempedulikan pengunaan sanad di dalamnya.Kenyataannya laporan al hadis haruslah didasarkan pada sejumlah nama yangbisa dijadikan dasar pijakan validitas informasi tersebut. Suatu hal yang tidakbegitu dibutuhkan oleh laporan yang bersifat ilmu kesejarahan.Kedudukan al hadis sebagai sumber kedua hukum islam itu tentunyamenimbulkan kenskuensi logis bagi terus dikembangkannya kajian yang intensifdan kritis serta tidak henti-hentinya, baik berkaitan dengan nilai-kualitas sanadatau matannya, maupun yang berkaitan dengan makna yang dikandungnya. Olehkarenanya pembahasan tentang al hadis sebagai dasar dan dalil bagi hukum-hukum syari’at telah dilakukan secara meluas dalam semua kitab ushul fiqh dandari semua mazhab. Sedemikian pentingnya sampai-sampai al Auza’iy (wafat 157H) menyatakan bahwa “Al Qur’an lebih membutuhkan as sunnah dibandingkandengan kebutuhan as sunnah kepada al qur’an” sebagaimana dikatakan oleh asSyaukani (Tt:33).Hal ini mengingat bahwa al hadis merupakan penjelas bagi al qur’an . Iamemerinci terhadap segala ketentuan yang ada dalam al qur’an, hal mana alqur’an seringkali menginformasikan ketentuan-ketentuan itu dalam bentuk yangmasih bersifat global. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa al hadisberwenang (‫القاضية‬) atas al qur’an. Maksudnya al hadis berwenang untukmemutuskan apa yang dimaksud oleh al qur’an. Hal senada juga diungkapkanoleh Musthofa as Shiba’iy (1975:378) beliau mengatakan :‫روى‬‫عن‬‫بعض‬‫العلماء‬‫من‬‫أن‬‫السنة‬‫قاضيه‬‫على‬‫الكتاب‬‫إذ‬‫هى‬‫تبين‬‫مجمله‬‫وتقيد‬‫مطلقه‬‫وتخصيص‬‫عامه‬‫فيرجع‬‫إليها‬‫ويترك‬‫ظاهرالكتاب‬‫و‬‫قد‬‫يحتمل‬‫نص‬‫الكتاب‬‫أمرين‬‫فأكثر‬‫فتعين‬‫السنة‬‫أحدهما‬‫فيعمل‬‫بها‬‫ويترك‬‫مقتضى‬‫الكتاب‬‫أل‬‫ترى‬‫أن‬‫اية‬‫السرقة‬‫قاضية‬‫بقطع‬‫كل‬‫سارق‬‫فخصتها‬‫السنة‬‫بمن‬‫سرق‬‫نصابا‬‫محرزا‬‫وهي‬‫تفيد‬‫قطع‬‫اليد‬‫و‬‫اليد‬‫تصدق‬‫من‬‫الصابع‬‫إلى‬‫المرفقين‬‫فخصتها‬‫السنة‬‫بالكوعين‬‫وكذالك‬‫ايات‬‫الزكاة‬‫شاملة‬‫لكل‬‫مال‬‫فخصتها‬‫السنة‬‫بأموال‬‫مخصوصة‬Akan tetapi Imam Ahmad tidak menyukai ungkapan seperti itu. Beliaumengatakan “Saya tidak berani mengatakan seperti itu, saya hanya akan berkatabahwa al hadis menjelaskan kandungan al qur’an” . Pendapat imam Ahmad inidikemukakan oleh ibn abdil barr dalam kitab jami’ bayan al ‘ilm wa fadhluhu.Barangkali ini adalah pendapat yang lebih bijaksana. Sebab al hadis dalam satu13
  • 2. segi memang menjelaskan apa yang ada dalam al qur’an, tetapi dalam segi yanglain ia hanya berputar dalam orbit al qur’an dan tidak keluar daripadanya.As Syaukaniy (Tt:33) pada akhirnya berkesimpulan bahwa keberadaan alhadis sebahai hujjah (sumber hukum syari’at) serta wewenangnya dalampenetapan hukum, sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, takseorangpun berbeda faham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki cukupilmu dalam islam. Musthofa as Shiba’iy (1975:376) mengatakan :‫اتفق‬‫المسلمون‬‫قديما‬‫وحديثا‬‫إل‬‫من‬‫شذ‬‫من‬‫بعض‬‫الطوائف‬‫المتحرفة‬‫على‬‫أن‬‫السنة‬‫رسول‬‫ا‬‫صلى‬‫ا‬‫عليه‬‫وسلم‬‫من‬‫قول‬‫أو‬‫فعل‬‫أو‬‫تقرير‬‫هى‬‫من‬‫مصادر‬‫التشريع‬‫السلمى‬‫الذي‬‫ل‬‫غنى‬‫لكل‬‫متشرعى‬‫عن‬‫االرجوع‬‫إليها‬‫فى‬‫المعرفة‬‫الحلل‬‫و‬‫الحرام‬Siapa saja yang membaca dan mempelajari kitab-kitab fiqh dari mazhabmanapun, pasti Ia akan mendapati suatu kenyataan bahwa pendapat para fuqahaitu sarat dengan dalil-dalil yang berasal dari al hadis, baik yang berupa perkataan,perbuatan maupun taqrir dari rasulullah. Sama saja dalam hal ini apakahpengarangnya dikenal –dalam sejarah ilmu fiqh- sebagai tokoh atau pengikutmadrasah Hadis maupun madrasah ar Ra’yi.Sesungguhnya jika terdapat anggapan bahwa ummat islam tidakmembutuhkan penjelasan hadis dalam kehidupan beragama maka pendapat inipastilah muncul ari orang yang tidak pernah mendalami ilmu-ilmu agama secaramendalam. Siapapun orang akan menyadari bahwa ayat-ayat al qur’an tidaklahsebegitu detail untuk menjelaskan beberapa ketentuan hukum-hukumnya.Hal ini disebabkan al qur’an diturunkan bukanlah berisi seperangkatteori-teori atau kaedah-kaedah hukum murni atau semisal dengan undang-undangmodern yang didalamnya diatur segala tindak tanduk perbuatan manusia. Alqur’an adalah pedoman yang lengkap bagi manusia untukberkehidupan,bermasyarakat dan bernegara dengan cita-cita islam. Dan sangatlogis jika al qur’an tidak membahas dan tidak detail terhadap beberapa ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan seluruh perbuatan manusia. Akandibutuhkan berlembar-lembar halaman kertas untuk memuat segala ketentuanyang berkaitan dengan perbuatan manusia. Tentunya ini akan memberatkanmanusia itu sendiri, sehingga al qur’an memberikan wewenang penafsiran ,penambahan dan penjelasan hukum yang tidak diatur dalam al qur’an, kepadaNabi SAW.A. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN AL HADISSesungguhnya kehujjahan al hadis sebagi sumber ajaran islam tidakhanya berasal dari kesepakatan para ulama belaka. Akan tetapi lebih dari itukedudukan yang istimewa tersebut mendapat dukungan dari al qur’an. Dengankata lain proses penetapan al hadis sebagai sumber ajaran islam mendapatkandua dukungan baik dari dalil aqliy maupun dari dalil naqliy.Ayat-ayat berikut baik secara tegas maupun samar-samarmengindikasikan adanya kewajiban untuk taat pada beliau :14
  • 3. -‫وانزلنا‬‫اليك‬‫الذكر‬‫لتبين‬‫للناس‬‫ما‬‫نزل‬‫اليهم‬‫و‬‫لعلهم‬‫يتفكرون‬)‫النحل‬:44(-‫فل‬‫وربك‬‫ليؤمنون‬‫حتى‬‫يحكموك‬‫فيما‬‫شجر‬‫بينهم‬‫ثم‬‫ل‬‫يجدوا‬‫فيانفسهم‬‫حرج‬‫مما‬‫قضيت‬‫ويسلموا‬‫تسليما‬)‫النساء‬:65(-‫وما‬‫اتاكم‬‫الرسول‬‫فخذوه‬‫وما‬‫نهاكم‬‫عنه‬‫فانتهوا‬)‫الحشر‬:7(-‫وأطيعوا‬‫ا‬‫والرسول‬‫لعلكم‬‫ترحمون‬)‫ال‬‫عمران‬:132(-‫يايها‬‫الذين‬‫امنوا‬‫اطيعوا‬‫ا‬‫و‬‫اطيعوا‬‫الرسسول‬‫و‬‫اولى‬‫المر‬‫منكم‬)‫النساء‬:59(-‫يايها‬‫الذين‬‫امنوا‬‫استجيبوا‬‫وللرسول‬‫إذا‬‫دعاكم‬‫لما‬‫يحييكم‬)‫النفال‬:34(-‫من‬‫يطع‬‫الرسول‬‫فقد‬‫أطاع‬‫ا‬)‫النساء‬:80(-‫قل‬‫إن‬‫كنتم‬‫تحبون‬‫ا‬‫فاتبعونى‬‫يحببكم‬‫ا‬‫ويغفرلكم‬‫ذنوبكم‬)‫ال‬‫عمران‬:31(-‫قل‬‫اطيعوا‬‫ا‬‫والرسول‬‫فإن‬‫تولوا‬‫فإن‬‫ا‬‫ل‬‫يحب‬‫الكافرين‬)‫ال‬‫عمران‬:32(-‫وما‬‫كان‬‫لمؤمن‬‫ول‬‫مؤمنة‬‫إذا‬‫فضى‬‫ا‬‫و‬‫رسوله‬‫أمرا‬‫ان‬‫يكون‬‫لهم‬‫الخيرة‬‫من‬‫أمرهم‬‫ومن‬‫يعص‬‫ا‬‫رسوله‬‫فقد‬‫ضل‬‫ضلل‬‫مبينا‬)‫الحزاب‬:36(Sederetan ayat di atas menyajikan suatu bukti yang amat sulit untukdibantah bahwa menjadi suatu kewajiban bagi ummat islam untuk senantiasamengikuti dan taat kepada Nabi. Pengingkaran terhadap ketentuan-ketentuanyang diajarkan oleh rasulullah itu sama saja merupakan pengingkaran terhadapketentuan Allah Swt. Dan itu merupakan suatu kenyataan bahwa al hadismenjadi suatu pegangan bersama bahwa sebagai sumber hukum ia mendapatkandukungan penuh dari al qur’an.Kehujahan al hadis memiliki sisi perbedaannya dengan al qur’an.Musthofa as Shiba’iy (1975:377) menjelaskan bahwa tidak dapat diragukan lagikandungan al hadis dari segi penyampaiannya memiliki kualitas qath’iy as subut.Sementara dari segi dalalah mengandung kemungkinan antara qath’iy dandhanniy. Adapun sunnah, terhadap hadis-hadis yang termasuk kategori mutawatirmaka ia memiliki Qathiy as Subut dan yang tidak mutawatir, kualitasnya dhanniyas subut. Adapun dari segi dalalah, sunnah ada yang qathiy dalalah dan yangdhanniy dalalah. Dengan kata lain setiap al qur’an pasti qath’iy as subut sementarauntuk al hadis ada yang qat’iy dan yang dhanniy as subut. Perbedaan dari segi inimengakibatkan al hadis menduduki peringkat yang kedua dibanding al qur’andalam proses rujukan setiap persoalan dalam agama islamDali-dalil di atas dapat dikategorikan sebagai dalil naqliy, mengingat daliltersebut adalah berupa nash-nash al qur’an. Secara logika, sangat rasional jika alhadis merupakan salah satu diantara sumber hukum dalam syari’at islam.Sebagaimana yang sudah difahami oleh banyak orang ayat-ayat al qur’an turun15
  • 4. tidak dalam redaksi yang detail ketika membicarakan berbagai persoalan umatmanusia. Seringkali ayat dikomunikasikan dalam bentuk yang masih sangatumum sehingga memerlukan kegiatan penafsiran dan pengkhususan untukmemperoleh makna yang dimaksud oleh al qur’an tersebut. Penafsiran dankegiatan ilmiah lainnya yang bertujuan untuk menyingkap makna al qur’an itutentunya tidak akan memeperoleh hasil yang maksimal jika tidak bersumber padarujukan-rujukan yang sah.Salah satu rujukan yang paling valid dari sekian metode rujukan yangdikembangkan oleh para fuqaha adalah pengunaan as sunnah untuk menafsirkan,menta’wilkan, mengkhususkan, membatasi dan mengecualikan apa-apa yangtidak jelas dalam ayat-ayatnya. Perintah solat, zakat, puasa dan lain sebagainya,tentunya tidak akan bisa dikerjakan secara sempurna oleh umat islam jikaternyata mereka menolak untuk menggunakan as sunnah sebagai dasar hukum.Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa terhadap ketentuan-ketentuan yang sifatnya sangat detail dan terperinci, ayat al qur’an tidakmenyediakan sejumlah ayat yang cukup untuk membahas permasalahan tersebut.Ketentuan apa yang dikehendaki oleh al qur’an itu, hanya bisa diketahui daripenelusuran terhadap preseden-preseden yang ditinggalkan oleh nabi, yangtersebar dalam bermacam-macam kitab hadis karya para ulama yang munculkemudian.B. FUNGSI HADIS TERHADAP AL QUR’ANMengingat sebagian besar kandungan al qur’an bersifat global tidaksecara terperinci, maka dimungkinkan bagi as sunnah untuk memainkanfungsinya terhadap jenis ayat-ayat tersebut. Sesungguhnya literatur ushul fiqhtelah secara panjang lebar membahas masalah ini. Berikut ini adalah ringkasandari apa yang telah dikemukakan didalam kajian-kajian ushul fiqh tersebut.Secara umum fungsi al hadis terhadap al aur’an meliputi tiga hal berikut ini :1. al Hadis berfungsi sebagai penguat (Ta’kid) terhadap hukum-hukumyang diaturdi dalam al qur’an. Dengan kata lain al qur’an memiliki fungsi ta’kid, yaknimatan-matan yang dikandung oleh al hadis kadangkala sesuai, sepadan,memiliki semangat yang sama dengan al qur’an dari segi mujmal dantafshilnya. al Hadis mendukung dan membenarkan pernyataan hukum yangdiatur dalam al kitab baik dalam pengertian umum maupun dalam pengertianyang lebih terperinci. Contoh yang bisa disebutkan untuk membenarkanpernyataan ini adalah ayat-ayat yang mengatur tentang puasa sholat, zakat,haji yang tidak dibarengi dengan penjelasan tentang syarat dan rukunnyasesungguhnya ia memiliki kesesuaian makna dengan hadis sebagaimana yangtertera di bawah ini :‫بنى‬‫السلم‬‫على‬‫خمش‬‫شهادة‬‫أن‬‫ل‬‫إله‬‫إل‬‫ا‬‫وأن‬‫محمدا‬‫رسول‬‫ا‬‫و‬‫إقام‬‫الصلة‬‫و‬‫إيتاء‬‫الزكاة‬‫و‬‫صوم‬‫رمضان‬‫وحج‬‫البيت‬‫من‬‫استطاع‬‫إليه‬‫سبيل‬)‫متفق‬‫عليه‬(Begitu juga terhadap kandungan ayat berikut ini :16
  • 5. ‫يايها‬‫الذين‬‫امنوا‬‫لتأكلوا‬‫اموالكم‬‫بينكم‬‫بالباطل‬‫إل‬‫ان‬‫تكون‬‫تجارة‬‫عن‬‫تراض‬‫منكم‬)‫سورة‬‫النساء‬19(ia memiliki kesesuaian makna dengan hadis berikut ini :‫ل‬‫يحل‬‫مال‬‫امرئ‬‫مسلم‬‫إل‬‫بطيب‬‫من‬‫نفسه‬2. Fungsi yang kedua adalah al hadis membatasi (taqyied) pengertian al qur’an yangtersusun dalam redaksi yang mutlak, atau memerinci (tafshiel) pengertian yangmasih bersifat global (mujmal), atau juga mengkhususkan (takhshish) pengertian alqur’an yang tersusun dalam kalimat yang umum (‘am). Hadis-hadis yangmemiliki muatan tentang hukum-hukum sholat, zakat, puasa, haji, jual beli danmuammalah lainnya datang dengan misi untuk menjelaskan keglobalan maknayang ada dalam kalimat-kalimat al qur’an.3. Fungsi ketiga dari al hadis adalah menetapkan hukum yang tidak ditetapkan olehal qur’an. Dengan kata lain al hadis berfungsi sebagai bayan at tasyri’ terhadap hal-hal yang didiamkan oleh al qur’an. Artinya ada beberapa peristiwa hukum terjadidi kalangan sahabat dan al qur’an tidak memberikan keputusan hukum tentangmasalah tersebut sementara al hadis memberikan ketentuannya secara jelas. Dantidak didapatkan adanya koreksi dari al qur’an terhadap ketentuan hukum yangdiciptakan oleh nabi menyangkut masalah tersebut. Seperti kasus larangan nabibagi ummat islam untuk tidak menikahi dalam waktu bersamaan antara seorangwanita dengan bibi dari fihak laki-laki (‘Ammat) maupun bibi dari fihakperempuan (Kholat), juga tentang hak mendahulukan syarikat ( teman dagang,partner, tetangga ) ketika seseorang hendak menjual harta benda yang dimilikinyasecara kongsi (hak syuf’ah), begitu pula tehadap kasus hukuman rajam bagi pezinamuhson dan pengasingan 1 tahun bagi pezina ghair al muhson dan lain-lain.Semua ketentuan tersebut sesungguhnya tidak terdapat dalam al qur’an dan tidakada nash yang melarang atau bahkan mewajibkannya. Ulama sepakat bahwaterhadap ketentuan hukum yang dimunculkan oleh nabi dan didiamkan oleh alqur’an berarti hal itu menunjukkan perkenan al qur’an terhadap fungsi nabisebagai syari’, Meskipun sesungguhnya yang namanya syari’ hanyalah Allah swt.Mengomentari ketiga fungsi al hadis terhadap al qur’an sebagaimanatersebut di atas, para ulama umumnya sepakat pada dua poin awal danmempermasalahkanya pada poin ketiga, yakni mengenai kewenangan al hadisuntuk menetapkan hukum baru yang tidak didapatkan ketentuannya dalam alqur’an. Ulama berbeda pendapat dalam hal cara dan bentuk-bentuk yang dilaluioleh nabi ketika menetapkan hukum yang baru tersebut. Sebagian ulamaberpendapat bahwa keputusan nabi itu murni merupakan hasil dari aktifitas nalarbeliau tanpa adanya bimbingan wahyu di dalamnya. Akan tetapi sebagian ulamayang lain berpendapat bahwa ketetapan nabi itu haruslah berada dibawahsemangat atau ruh al qur’an dan tidak boleh menyimpang sama sekali dari nashal qur’an, betapapun cara yang ditempuh oleh nabi adalah sekedar ta’wilterhadap makna yang dikandung oleh sebuah ayat-ayat-Nya.Di samping itu ada beberapa perilaku nabi yang memang menjadikekhususan tersendiri bagi beliau seperti menikah lebih dari 4 wanita. Kebolehanpoligami melebihi batasan yang diperkenankan oleh al qur’an itu merupakan hakistimewa yang hanya dimiliki oleh nabi. Demikian pula ada beberapa tindakannabi yang menjadi ajang perdebatan apakah ia merupakan contoh yang harus17
  • 6. diikuti ataukah ia hanya sekedar hal-hal yang berasal dari keinginan pribadi nabi.Perilaku yang dimaksud umpamanya terdapat dalam hadis berikut ini :‫قصوا‬‫الشارب‬‫واعفوا‬‫للحي‬Sebagian ulama beranggapan bahwa hadis di atas mengandung perintahbagi umat islam untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot sebagaibentuk ketaatan perintah hadis nabi tersebut. Akan tetapi sebagian ulama justrumenganggap perintah hadis di atas hanya mengandung anjuran yang sifatnyahukum kebiasaan saja atau bahwa perintah nabi diatas sekedar anjuran untukmenunjukkan identitas diri agar berbeda dengan kebiasaan orang kafir yahudi dannasrani yang lebih suka mencukur jenggot dan memelihara kumis. Sama sekalibukan hadis yang bernilai sebagai sebuah dalil.Demikianlah secara ringkas pembahasan tentang fungsi hadis terhadapal qur’an sesungguhnya pembahasan yang panjang lebar dan cukup memadailebih banyak dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Secara lebih mendalam ulamamengkaji fungsi hadis tersebut beserta dalil naqli maupun aqlinya.Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah kaitannya dengan al qur’andari segi bahwa ia adalah wahyu ghair matlu dan sebagai sumber penetapanhukum islam, maka wajib bagi umat islam untuk beramal dengannya. Hal ini dikarenakan as sunnah menduduki posisi yang kedua setelah al qur’an sementara disisi yang lain ia adalah penjelas bagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam alqur’an. Sebagaimana disinyalir dalam al qur’an surat an nahl ayat 44, yangberbunyi sebagai berikut :‫وأنزلنا‬‫إليك‬‫الذكر‬‫لتبين‬‫للناس‬‫ما‬‫نزل‬‫إليهم‬‫و‬‫لعلهم‬‫يتفكرون‬)‫النحل‬;44(Ayat di atas menjadi alasan yang paling kuat untuk melegitimasi fungsidan kedudukan as sunnah terhadap al qur’an. Sehingga tidak ada alasan bagisebagian umat islam untuk meragukan kewenangan as sunnah sebagai dasarhukum dan hujjah dalam agama. Meskipun pada kenyataannya ada juga sebagianumat islam yang menentang adanya fungsi yang sebagaimana tersebut dimuka,akan tetapi pendapat mereka secara umum mudah untuk dibantah. Pada bab-babberikutnya akan di bahas kemunculan sekelompok orang yang ingkar terhadap assunnah disertai alasan dan dalil-dalil yang mereka gunakan dan bantahan ulamaterhadap sikap mereka tersebut.18
  • 7. diikuti ataukah ia hanya sekedar hal-hal yang berasal dari keinginan pribadi nabi.Perilaku yang dimaksud umpamanya terdapat dalam hadis berikut ini :‫قصوا‬‫الشارب‬‫واعفوا‬‫للحي‬Sebagian ulama beranggapan bahwa hadis di atas mengandung perintahbagi umat islam untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot sebagaibentuk ketaatan perintah hadis nabi tersebut. Akan tetapi sebagian ulama justrumenganggap perintah hadis di atas hanya mengandung anjuran yang sifatnyahukum kebiasaan saja atau bahwa perintah nabi diatas sekedar anjuran untukmenunjukkan identitas diri agar berbeda dengan kebiasaan orang kafir yahudi dannasrani yang lebih suka mencukur jenggot dan memelihara kumis. Sama sekalibukan hadis yang bernilai sebagai sebuah dalil.Demikianlah secara ringkas pembahasan tentang fungsi hadis terhadapal qur’an sesungguhnya pembahasan yang panjang lebar dan cukup memadailebih banyak dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Secara lebih mendalam ulamamengkaji fungsi hadis tersebut beserta dalil naqli maupun aqlinya.Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah kaitannya dengan al qur’andari segi bahwa ia adalah wahyu ghair matlu dan sebagai sumber penetapanhukum islam, maka wajib bagi umat islam untuk beramal dengannya. Hal ini dikarenakan as sunnah menduduki posisi yang kedua setelah al qur’an sementara disisi yang lain ia adalah penjelas bagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam alqur’an. Sebagaimana disinyalir dalam al qur’an surat an nahl ayat 44, yangberbunyi sebagai berikut :‫وأنزلنا‬‫إليك‬‫الذكر‬‫لتبين‬‫للناس‬‫ما‬‫نزل‬‫إليهم‬‫و‬‫لعلهم‬‫يتفكرون‬)‫النحل‬;44(Ayat di atas menjadi alasan yang paling kuat untuk melegitimasi fungsidan kedudukan as sunnah terhadap al qur’an. Sehingga tidak ada alasan bagisebagian umat islam untuk meragukan kewenangan as sunnah sebagai dasarhukum dan hujjah dalam agama. Meskipun pada kenyataannya ada juga sebagianumat islam yang menentang adanya fungsi yang sebagaimana tersebut dimuka,akan tetapi pendapat mereka secara umum mudah untuk dibantah. Pada bab-babberikutnya akan di bahas kemunculan sekelompok orang yang ingkar terhadap assunnah disertai alasan dan dalil-dalil yang mereka gunakan dan bantahan ulamaterhadap sikap mereka tersebut.

Makalah Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan berbagai pengertian. Sehingga definisi dari Nikah Siri bermacam-macam yaitu:
  1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat
  2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya
  3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
B. Pandangan Islam terhadap Nikah Siri berdasarkan Hukum Islam
Adapun hukum syariat/islam atas ketiga fakta yang telah dijabarkan tersebut adalah sebagai berikut.
Fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan
kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Fakta kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut:
  1. Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya
  2. Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya
  3. Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Fakta Ketiga, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah:
  1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat
  2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai
  3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai
pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
C. Pencatatan Pernikahan menurut Hukum dan Hukum Islam
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui
sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ
بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara — padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.