Minggu, 23 Februari 2014

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL
            1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta langkah yang mulia.
            Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan. [1]
            2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari  jiwa mereka  akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]
A.    PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH
Pada  awal mulanya, islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[3]
B.     PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk berselisih dalam hukum.
2.      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari suatu pertanyaan.
3.      Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD
          Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
          Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan, karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]
          Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu masalah persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan. Seperti:
“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu dan mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama, karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]
          Pada masa sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara menjelaskan dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku pengganti Rasulullah. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan banyak dari kalangan sahabat sebagai Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam mengaktualkan ijtihadnya. Mereka mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak ada ketetapannya menurut konteks nash.[7]
      
          Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat, sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]
          Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan terjadi.[9]
SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN
Ø  Masa Rasul
         Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum yang wajib diikuti.
         Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.[10]
Ø  Masa Sahabat
         Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan islam. Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.
         Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi mereka untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm Alqur’an dan Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan bagi mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]
        Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:
1.      Alqur’anul Karim
2.      Sunnah Rasulullah
3.      Ijtihad Sahabat.
Ø  Masa Tabi’in
         Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.[12]
Ø  Masa Keemasan
         Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:
1.      Al qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan, istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.
           Kalau seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam Alqur’an atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam Alqur’an dan Sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristinbat dan beristinbat dengan metode istinbat yan ditunjukkan syari’at.[13]
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN
       
         Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh), penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]
         Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada periode ini cukup banyak, diantaranya:
1.      Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
2.      Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.
3.      pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
4.      Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.
5.      Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]
6.      Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’, seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
7.      Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an dan As sunnah serta Ushul Fiqh.
8.      Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain yang tidak familiar sebelumnya.
9.      Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT
RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)


[1] Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14
[2] Ibid., hlm. 14
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9
[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17
[5] Ibid., hlm. 17-18
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11
[7] Ibid., hlm. 46
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70
[9] Ibid. hlm. 105
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13
[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59
[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82
[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73

Psikologi Agama (psokoreligius)

Psikologi Agama (psokoreligius)

1. Pengertian Psikologi Agama

Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-ruh. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda (Liza, 2009: 2). Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Menurut Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.


Menurut Drajat (2008: 2), bahwa psikologi agama berkaiatan dengan pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi (Liza, 2009: 2). Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak, apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.

Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiris tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia (Liza, 2009: 3).

Psikologi agama dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan. Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.

Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama adalah perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa: (1) Gejala-gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan; dan (2) Proses hubungan antara psikis manusia dan tingkah laku keagamaannya.

2. Objek Kajian Psikologi Agama

Objek dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala- gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara keduannya. Dengan kata lain, psikologia agama membahas tentang kesadaran agama (religious counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Dengan demikian, yang menjadi lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Objek pembahasan psikologi agama adalah gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya (Sholoe, 2008:3).

3. Pandangan Psikologi Tentang Agama Pada Remaja

Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian yang berkaitan dengan kondisi pikirannya, yaitu:
a. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak-anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negatif
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen Luella Cole sebagaimana dikutip kembali oleh Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1) Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2) Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3) Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4) Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali (Sholoe, 2008: 4).

Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu (Sholoe, 2008: 4):
a. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
b. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
c. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
d. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Remaja merupakan fase yang belum stabil dan masih banyak mengalami perkembangan dalam sisi kejiwaan. Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
a. Percaya ikut-ikutan
Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
b. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
1) Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid‟ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
2) Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid‟ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi agak ragu-ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
1) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
2) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
3) Tidak percaya atau cenderung ateis. Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan