- HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMAS
- udah menjadi kesepakatan di kalangan jumhur muhadisin danushuliyyin, bahwa al hadis menjadi sumber rujukan hukum yang kedua setelah alqur’an. Andaikata al hadis hanyalah berupa laporan-laporan sejarah sebagaimanakitab sirah-nya ibnu Hisyam, atau sekedar sejarah perjuangan bersenjata nabisebagaimana kitab al maghaziy-nya al Waqidiy, tentunya para ulama tidak begitumemperhatikan dan mempedulikan pengunaan sanad di dalamnya.Kenyataannya laporan al hadis haruslah didasarkan pada sejumlah nama yangbisa dijadikan dasar pijakan validitas informasi tersebut. Suatu hal yang tidakbegitu dibutuhkan oleh laporan yang bersifat ilmu kesejarahan.Kedudukan al hadis sebagai sumber kedua hukum islam itu tentunyamenimbulkan kenskuensi logis bagi terus dikembangkannya kajian yang intensifdan kritis serta tidak henti-hentinya, baik berkaitan dengan nilai-kualitas sanadatau matannya, maupun yang berkaitan dengan makna yang dikandungnya. Olehkarenanya pembahasan tentang al hadis sebagai dasar dan dalil bagi hukum-hukum syari’at telah dilakukan secara meluas dalam semua kitab ushul fiqh dandari semua mazhab. Sedemikian pentingnya sampai-sampai al Auza’iy (wafat 157H) menyatakan bahwa “Al Qur’an lebih membutuhkan as sunnah dibandingkandengan kebutuhan as sunnah kepada al qur’an” sebagaimana dikatakan oleh asSyaukani (Tt:33).Hal ini mengingat bahwa al hadis merupakan penjelas bagi al qur’an . Iamemerinci terhadap segala ketentuan yang ada dalam al qur’an, hal mana alqur’an seringkali menginformasikan ketentuan-ketentuan itu dalam bentuk yangmasih bersifat global. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa al hadisberwenang (القاضية) atas al qur’an. Maksudnya al hadis berwenang untukmemutuskan apa yang dimaksud oleh al qur’an. Hal senada juga diungkapkanoleh Musthofa as Shiba’iy (1975:378) beliau mengatakan :روىعنبعضالعلماءمنأنالسنةقاضيهعلىالكتابإذهىتبينمجملهوتقيدمطلقهوتخصيصعامهفيرجعإليهاويتركظاهرالكتابوقديحتملنصالكتابأمرينفأكثرفتعينالسنةأحدهمافيعملبهاويتركمقتضىالكتابألترىأنايةالسرقةقاضيةبقطعكلسارقفخصتهاالسنةبمنسرقنصابامحرزاوهيتفيدقطعاليدواليدتصدقمنالصابعإلىالمرفقينفخصتهاالسنةبالكوعينوكذالكاياتالزكاةشاملةلكلمالفخصتهاالسنةبأموالمخصوصةAkan tetapi Imam Ahmad tidak menyukai ungkapan seperti itu. Beliaumengatakan “Saya tidak berani mengatakan seperti itu, saya hanya akan berkatabahwa al hadis menjelaskan kandungan al qur’an” . Pendapat imam Ahmad inidikemukakan oleh ibn abdil barr dalam kitab jami’ bayan al ‘ilm wa fadhluhu.Barangkali ini adalah pendapat yang lebih bijaksana. Sebab al hadis dalam satu13
- 2. segi memang menjelaskan apa yang ada dalam al qur’an, tetapi dalam segi yanglain ia hanya berputar dalam orbit al qur’an dan tidak keluar daripadanya.As Syaukaniy (Tt:33) pada akhirnya berkesimpulan bahwa keberadaan alhadis sebahai hujjah (sumber hukum syari’at) serta wewenangnya dalampenetapan hukum, sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, takseorangpun berbeda faham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki cukupilmu dalam islam. Musthofa as Shiba’iy (1975:376) mengatakan :اتفقالمسلمونقديماوحديثاإلمنشذمنبعضالطوائفالمتحرفةعلىأنالسنةرسولاصلىاعليهوسلممنقولأوفعلأوتقريرهىمنمصادرالتشريعالسلمىالذيلغنىلكلمتشرعىعناالرجوعإليهافىالمعرفةالحللوالحرامSiapa saja yang membaca dan mempelajari kitab-kitab fiqh dari mazhabmanapun, pasti Ia akan mendapati suatu kenyataan bahwa pendapat para fuqahaitu sarat dengan dalil-dalil yang berasal dari al hadis, baik yang berupa perkataan,perbuatan maupun taqrir dari rasulullah. Sama saja dalam hal ini apakahpengarangnya dikenal –dalam sejarah ilmu fiqh- sebagai tokoh atau pengikutmadrasah Hadis maupun madrasah ar Ra’yi.Sesungguhnya jika terdapat anggapan bahwa ummat islam tidakmembutuhkan penjelasan hadis dalam kehidupan beragama maka pendapat inipastilah muncul ari orang yang tidak pernah mendalami ilmu-ilmu agama secaramendalam. Siapapun orang akan menyadari bahwa ayat-ayat al qur’an tidaklahsebegitu detail untuk menjelaskan beberapa ketentuan hukum-hukumnya.Hal ini disebabkan al qur’an diturunkan bukanlah berisi seperangkatteori-teori atau kaedah-kaedah hukum murni atau semisal dengan undang-undangmodern yang didalamnya diatur segala tindak tanduk perbuatan manusia. Alqur’an adalah pedoman yang lengkap bagi manusia untukberkehidupan,bermasyarakat dan bernegara dengan cita-cita islam. Dan sangatlogis jika al qur’an tidak membahas dan tidak detail terhadap beberapa ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan seluruh perbuatan manusia. Akandibutuhkan berlembar-lembar halaman kertas untuk memuat segala ketentuanyang berkaitan dengan perbuatan manusia. Tentunya ini akan memberatkanmanusia itu sendiri, sehingga al qur’an memberikan wewenang penafsiran ,penambahan dan penjelasan hukum yang tidak diatur dalam al qur’an, kepadaNabi SAW.A. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN AL HADISSesungguhnya kehujjahan al hadis sebagi sumber ajaran islam tidakhanya berasal dari kesepakatan para ulama belaka. Akan tetapi lebih dari itukedudukan yang istimewa tersebut mendapat dukungan dari al qur’an. Dengankata lain proses penetapan al hadis sebagai sumber ajaran islam mendapatkandua dukungan baik dari dalil aqliy maupun dari dalil naqliy.Ayat-ayat berikut baik secara tegas maupun samar-samarmengindikasikan adanya kewajiban untuk taat pada beliau :14
- 3. -وانزلنااليكالذكرلتبينللناسمانزلاليهمولعلهميتفكرون)النحل:44(-فلوربكليؤمنونحتىيحكموكفيماشجربينهمثمليجدوافيانفسهمحرجمماقضيتويسلمواتسليما)النساء:65(-ومااتاكمالرسولفخذوهومانهاكمعنهفانتهوا)الحشر:7(-وأطيعوااوالرسوللعلكمترحمون)العمران:132(-يايهاالذينامنوااطيعوااواطيعواالرسسولواولىالمرمنكم)النساء:59(-يايهاالذينامنوااستجيبواوللرسولإذادعاكملمايحييكم)النفال:34(-منيطعالرسولفقدأطاعا)النساء:80(-قلإنكنتمتحبونافاتبعونىيحببكماويغفرلكمذنوبكم)العمران:31(-قلاطيعوااوالرسولفإنتولوافإناليحبالكافرين)العمران:32(-وماكانلمؤمنولمؤمنةإذافضىاورسولهأمراانيكونلهمالخيرةمنأمرهمومنيعصارسولهفقدضلضللمبينا)الحزاب:36(Sederetan ayat di atas menyajikan suatu bukti yang amat sulit untukdibantah bahwa menjadi suatu kewajiban bagi ummat islam untuk senantiasamengikuti dan taat kepada Nabi. Pengingkaran terhadap ketentuan-ketentuanyang diajarkan oleh rasulullah itu sama saja merupakan pengingkaran terhadapketentuan Allah Swt. Dan itu merupakan suatu kenyataan bahwa al hadismenjadi suatu pegangan bersama bahwa sebagai sumber hukum ia mendapatkandukungan penuh dari al qur’an.Kehujahan al hadis memiliki sisi perbedaannya dengan al qur’an.Musthofa as Shiba’iy (1975:377) menjelaskan bahwa tidak dapat diragukan lagikandungan al hadis dari segi penyampaiannya memiliki kualitas qath’iy as subut.Sementara dari segi dalalah mengandung kemungkinan antara qath’iy dandhanniy. Adapun sunnah, terhadap hadis-hadis yang termasuk kategori mutawatirmaka ia memiliki Qathiy as Subut dan yang tidak mutawatir, kualitasnya dhanniyas subut. Adapun dari segi dalalah, sunnah ada yang qathiy dalalah dan yangdhanniy dalalah. Dengan kata lain setiap al qur’an pasti qath’iy as subut sementarauntuk al hadis ada yang qat’iy dan yang dhanniy as subut. Perbedaan dari segi inimengakibatkan al hadis menduduki peringkat yang kedua dibanding al qur’andalam proses rujukan setiap persoalan dalam agama islamDali-dalil di atas dapat dikategorikan sebagai dalil naqliy, mengingat daliltersebut adalah berupa nash-nash al qur’an. Secara logika, sangat rasional jika alhadis merupakan salah satu diantara sumber hukum dalam syari’at islam.Sebagaimana yang sudah difahami oleh banyak orang ayat-ayat al qur’an turun15
- 4. tidak dalam redaksi yang detail ketika membicarakan berbagai persoalan umatmanusia. Seringkali ayat dikomunikasikan dalam bentuk yang masih sangatumum sehingga memerlukan kegiatan penafsiran dan pengkhususan untukmemperoleh makna yang dimaksud oleh al qur’an tersebut. Penafsiran dankegiatan ilmiah lainnya yang bertujuan untuk menyingkap makna al qur’an itutentunya tidak akan memeperoleh hasil yang maksimal jika tidak bersumber padarujukan-rujukan yang sah.Salah satu rujukan yang paling valid dari sekian metode rujukan yangdikembangkan oleh para fuqaha adalah pengunaan as sunnah untuk menafsirkan,menta’wilkan, mengkhususkan, membatasi dan mengecualikan apa-apa yangtidak jelas dalam ayat-ayatnya. Perintah solat, zakat, puasa dan lain sebagainya,tentunya tidak akan bisa dikerjakan secara sempurna oleh umat islam jikaternyata mereka menolak untuk menggunakan as sunnah sebagai dasar hukum.Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa terhadap ketentuan-ketentuan yang sifatnya sangat detail dan terperinci, ayat al qur’an tidakmenyediakan sejumlah ayat yang cukup untuk membahas permasalahan tersebut.Ketentuan apa yang dikehendaki oleh al qur’an itu, hanya bisa diketahui daripenelusuran terhadap preseden-preseden yang ditinggalkan oleh nabi, yangtersebar dalam bermacam-macam kitab hadis karya para ulama yang munculkemudian.B. FUNGSI HADIS TERHADAP AL QUR’ANMengingat sebagian besar kandungan al qur’an bersifat global tidaksecara terperinci, maka dimungkinkan bagi as sunnah untuk memainkanfungsinya terhadap jenis ayat-ayat tersebut. Sesungguhnya literatur ushul fiqhtelah secara panjang lebar membahas masalah ini. Berikut ini adalah ringkasandari apa yang telah dikemukakan didalam kajian-kajian ushul fiqh tersebut.Secara umum fungsi al hadis terhadap al aur’an meliputi tiga hal berikut ini :1. al Hadis berfungsi sebagai penguat (Ta’kid) terhadap hukum-hukumyang diaturdi dalam al qur’an. Dengan kata lain al qur’an memiliki fungsi ta’kid, yaknimatan-matan yang dikandung oleh al hadis kadangkala sesuai, sepadan,memiliki semangat yang sama dengan al qur’an dari segi mujmal dantafshilnya. al Hadis mendukung dan membenarkan pernyataan hukum yangdiatur dalam al kitab baik dalam pengertian umum maupun dalam pengertianyang lebih terperinci. Contoh yang bisa disebutkan untuk membenarkanpernyataan ini adalah ayat-ayat yang mengatur tentang puasa sholat, zakat,haji yang tidak dibarengi dengan penjelasan tentang syarat dan rukunnyasesungguhnya ia memiliki kesesuaian makna dengan hadis sebagaimana yangtertera di bawah ini :بنىالسلمعلىخمششهادةأنلإلهإلاوأنمحمدارسولاوإقامالصلةوإيتاءالزكاةوصومرمضانوحجالبيتمناستطاعإليهسبيل)متفقعليه(Begitu juga terhadap kandungan ayat berikut ini :16
- 5. يايهاالذينامنوالتأكلوااموالكمبينكمبالباطلإلانتكونتجارةعنتراضمنكم)سورةالنساء19(ia memiliki kesesuaian makna dengan hadis berikut ini :ليحلمالامرئمسلمإلبطيبمننفسه2. Fungsi yang kedua adalah al hadis membatasi (taqyied) pengertian al qur’an yangtersusun dalam redaksi yang mutlak, atau memerinci (tafshiel) pengertian yangmasih bersifat global (mujmal), atau juga mengkhususkan (takhshish) pengertian alqur’an yang tersusun dalam kalimat yang umum (‘am). Hadis-hadis yangmemiliki muatan tentang hukum-hukum sholat, zakat, puasa, haji, jual beli danmuammalah lainnya datang dengan misi untuk menjelaskan keglobalan maknayang ada dalam kalimat-kalimat al qur’an.3. Fungsi ketiga dari al hadis adalah menetapkan hukum yang tidak ditetapkan olehal qur’an. Dengan kata lain al hadis berfungsi sebagai bayan at tasyri’ terhadap hal-hal yang didiamkan oleh al qur’an. Artinya ada beberapa peristiwa hukum terjadidi kalangan sahabat dan al qur’an tidak memberikan keputusan hukum tentangmasalah tersebut sementara al hadis memberikan ketentuannya secara jelas. Dantidak didapatkan adanya koreksi dari al qur’an terhadap ketentuan hukum yangdiciptakan oleh nabi menyangkut masalah tersebut. Seperti kasus larangan nabibagi ummat islam untuk tidak menikahi dalam waktu bersamaan antara seorangwanita dengan bibi dari fihak laki-laki (‘Ammat) maupun bibi dari fihakperempuan (Kholat), juga tentang hak mendahulukan syarikat ( teman dagang,partner, tetangga ) ketika seseorang hendak menjual harta benda yang dimilikinyasecara kongsi (hak syuf’ah), begitu pula tehadap kasus hukuman rajam bagi pezinamuhson dan pengasingan 1 tahun bagi pezina ghair al muhson dan lain-lain.Semua ketentuan tersebut sesungguhnya tidak terdapat dalam al qur’an dan tidakada nash yang melarang atau bahkan mewajibkannya. Ulama sepakat bahwaterhadap ketentuan hukum yang dimunculkan oleh nabi dan didiamkan oleh alqur’an berarti hal itu menunjukkan perkenan al qur’an terhadap fungsi nabisebagai syari’, Meskipun sesungguhnya yang namanya syari’ hanyalah Allah swt.Mengomentari ketiga fungsi al hadis terhadap al qur’an sebagaimanatersebut di atas, para ulama umumnya sepakat pada dua poin awal danmempermasalahkanya pada poin ketiga, yakni mengenai kewenangan al hadisuntuk menetapkan hukum baru yang tidak didapatkan ketentuannya dalam alqur’an. Ulama berbeda pendapat dalam hal cara dan bentuk-bentuk yang dilaluioleh nabi ketika menetapkan hukum yang baru tersebut. Sebagian ulamaberpendapat bahwa keputusan nabi itu murni merupakan hasil dari aktifitas nalarbeliau tanpa adanya bimbingan wahyu di dalamnya. Akan tetapi sebagian ulamayang lain berpendapat bahwa ketetapan nabi itu haruslah berada dibawahsemangat atau ruh al qur’an dan tidak boleh menyimpang sama sekali dari nashal qur’an, betapapun cara yang ditempuh oleh nabi adalah sekedar ta’wilterhadap makna yang dikandung oleh sebuah ayat-ayat-Nya.Di samping itu ada beberapa perilaku nabi yang memang menjadikekhususan tersendiri bagi beliau seperti menikah lebih dari 4 wanita. Kebolehanpoligami melebihi batasan yang diperkenankan oleh al qur’an itu merupakan hakistimewa yang hanya dimiliki oleh nabi. Demikian pula ada beberapa tindakannabi yang menjadi ajang perdebatan apakah ia merupakan contoh yang harus17
- 6. diikuti ataukah ia hanya sekedar hal-hal yang berasal dari keinginan pribadi nabi.Perilaku yang dimaksud umpamanya terdapat dalam hadis berikut ini :قصواالشاربواعفواللحيSebagian ulama beranggapan bahwa hadis di atas mengandung perintahbagi umat islam untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot sebagaibentuk ketaatan perintah hadis nabi tersebut. Akan tetapi sebagian ulama justrumenganggap perintah hadis di atas hanya mengandung anjuran yang sifatnyahukum kebiasaan saja atau bahwa perintah nabi diatas sekedar anjuran untukmenunjukkan identitas diri agar berbeda dengan kebiasaan orang kafir yahudi dannasrani yang lebih suka mencukur jenggot dan memelihara kumis. Sama sekalibukan hadis yang bernilai sebagai sebuah dalil.Demikianlah secara ringkas pembahasan tentang fungsi hadis terhadapal qur’an sesungguhnya pembahasan yang panjang lebar dan cukup memadailebih banyak dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Secara lebih mendalam ulamamengkaji fungsi hadis tersebut beserta dalil naqli maupun aqlinya.Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah kaitannya dengan al qur’andari segi bahwa ia adalah wahyu ghair matlu dan sebagai sumber penetapanhukum islam, maka wajib bagi umat islam untuk beramal dengannya. Hal ini dikarenakan as sunnah menduduki posisi yang kedua setelah al qur’an sementara disisi yang lain ia adalah penjelas bagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam alqur’an. Sebagaimana disinyalir dalam al qur’an surat an nahl ayat 44, yangberbunyi sebagai berikut :وأنزلناإليكالذكرلتبينللناسمانزلإليهمولعلهميتفكرون)النحل;44(Ayat di atas menjadi alasan yang paling kuat untuk melegitimasi fungsidan kedudukan as sunnah terhadap al qur’an. Sehingga tidak ada alasan bagisebagian umat islam untuk meragukan kewenangan as sunnah sebagai dasarhukum dan hujjah dalam agama. Meskipun pada kenyataannya ada juga sebagianumat islam yang menentang adanya fungsi yang sebagaimana tersebut dimuka,akan tetapi pendapat mereka secara umum mudah untuk dibantah. Pada bab-babberikutnya akan di bahas kemunculan sekelompok orang yang ingkar terhadap assunnah disertai alasan dan dalil-dalil yang mereka gunakan dan bantahan ulamaterhadap sikap mereka tersebut.18
- 7. diikuti ataukah ia hanya sekedar hal-hal yang berasal dari keinginan pribadi nabi.Perilaku yang dimaksud umpamanya terdapat dalam hadis berikut ini :قصواالشاربواعفواللحيSebagian ulama beranggapan bahwa hadis di atas mengandung perintahbagi umat islam untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot sebagaibentuk ketaatan perintah hadis nabi tersebut. Akan tetapi sebagian ulama justrumenganggap perintah hadis di atas hanya mengandung anjuran yang sifatnyahukum kebiasaan saja atau bahwa perintah nabi diatas sekedar anjuran untukmenunjukkan identitas diri agar berbeda dengan kebiasaan orang kafir yahudi dannasrani yang lebih suka mencukur jenggot dan memelihara kumis. Sama sekalibukan hadis yang bernilai sebagai sebuah dalil.Demikianlah secara ringkas pembahasan tentang fungsi hadis terhadapal qur’an sesungguhnya pembahasan yang panjang lebar dan cukup memadailebih banyak dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Secara lebih mendalam ulamamengkaji fungsi hadis tersebut beserta dalil naqli maupun aqlinya.Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah kaitannya dengan al qur’andari segi bahwa ia adalah wahyu ghair matlu dan sebagai sumber penetapanhukum islam, maka wajib bagi umat islam untuk beramal dengannya. Hal ini dikarenakan as sunnah menduduki posisi yang kedua setelah al qur’an sementara disisi yang lain ia adalah penjelas bagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam alqur’an. Sebagaimana disinyalir dalam al qur’an surat an nahl ayat 44, yangberbunyi sebagai berikut :وأنزلناإليكالذكرلتبينللناسمانزلإليهمولعلهميتفكرون)النحل;44(Ayat di atas menjadi alasan yang paling kuat untuk melegitimasi fungsidan kedudukan as sunnah terhadap al qur’an. Sehingga tidak ada alasan bagisebagian umat islam untuk meragukan kewenangan as sunnah sebagai dasarhukum dan hujjah dalam agama. Meskipun pada kenyataannya ada juga sebagianumat islam yang menentang adanya fungsi yang sebagaimana tersebut dimuka,akan tetapi pendapat mereka secara umum mudah untuk dibantah. Pada bab-babberikutnya akan di bahas kemunculan sekelompok orang yang ingkar terhadap assunnah disertai alasan dan dalil-dalil yang mereka gunakan dan bantahan ulamaterhadap sikap mereka tersebut.
Selasa, 17 Desember 2013
HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
Makalah Hukum Islam Tentang Nikah Siri
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh
masyarakat umum dengan berbagai pengertian. Sehingga definisi dari Nikah
Siri bermacam-macam yaitu:
- Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat
- Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya
- Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
B. Pandangan Islam terhadap Nikah Siri berdasarkan Hukum Islam
Adapun hukum syariat/islam atas ketiga fakta yang telah dijabarkan tersebut adalah sebagai berikut.
Fakta pertama, yakni pernikahan tanpa
wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa
wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang
dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani,
Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata
”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar
’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam
ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa
mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil;
pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam
Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan
wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya
sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita)
yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.
Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas
dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan
batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa
wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam
bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan
kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya
kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi
penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa
wali.
Fakta kedua, yakni pernikahan yang sah
menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan
sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda;
yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri
tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap
melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum.
Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi
sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori
”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru
absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan
oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh,
maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan
kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau
mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut:
- Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya
- Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya
- Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan;
pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak
boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak
mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia
lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah
swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali,
(2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah
dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun
tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Fakta Ketiga, pada dasarnya, Nabi saw
telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah:
- Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat
- Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai
- Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan
pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan
menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri
hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap
perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya
ketika dimintai persaksian mengenai
pernikahannya. Jika ia tidak memiliki
dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya
akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan,
demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat
serta untuk mencegah adanya fitnah.
C. Pencatatan Pernikahan menurut Hukum dan Hukum Islam
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan
pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki
alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang
dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di
hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris,
hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja,
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan
atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus
diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh
menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan
pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti
kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian
dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus
diakui
sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak
boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan
pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan
siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah
kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang
yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan
resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu,
melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak
bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang,
dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat
sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu
memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan
tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya
dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan,
namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan
atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk
mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran,
misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ
الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا
أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا
إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ
تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ
بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika
mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS
AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam,
memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang
yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini
seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk
menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat
yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti
urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.
Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini
berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy
dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh
rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan
tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak
mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak
menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang
masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian
meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh
memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain
sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan
pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi
tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang
mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di
lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam
ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak
memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke
lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan negara — padahal negara telah
menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah
dan orang yang diberinya kewenangan.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan
karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh
mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar
batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan
orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis
kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan Negara.
Selasa, 10 Desember 2013
Implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern
Implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern
Pembahasan.- Pengertian ImanMenurut bahasa iman berarti membenarkan, sedangkan menurut syara’ berartimembenarkan denagn hati, dalam arti menerima dan tunduk kepada hal-hal yang diketahuiberasal dari Nabi Muhamad. Dengan demikian Iman kepada Allah berati iman atau percayabahwa Allah satu-satunya dzat yang mencipta, memelihara, menguasai, dan mengatur alamsemesta. Iman kepada keesaan Allah juga berarti iman atau yakin bahwa hanya kepada Allah-lah manusia harus bertuhan, beribadah memohon pertolongan, tunduk, patuh, danmerendahkan diri. Selain itu iman kepada keesaan Allah juga berarti mempercayai bahwaAllah-lah yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan terlepas dari sifat tercela atau darisegala kekurangan.Iman tidak cukup disimpan didalam hati. Iman harus dilahirkan dalam bentuk perbuatan yangnyata dan dalam bentuk amal sholeh atau perilaku yang baik. Disamping itu, pengertiantersebut juga membawa makna bahwa iman tidak sekedar beriman kepada apa yangdisebutkan di dalam “rukun iman” saja, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar, tetapi lebih dariitu, cakupan iman meliputi pengimanan terhadap segala hal yang dibawa oleh NabiMuhammad selain rukun iman tersebut. Misalnya, iman terhadap kewajiban sholat, zakat,puasa, haji, dan juga tentang halal haramnya sesuatu.B. TaqwaMenurut imam ghozali : Taqwa di dalam Al qur’an disebut dalam tigapengertian. Pertama : Takut dan malu, Kedua :Taat dan beribadah, Ketiga : Membersihkanhati dari dosa, dan yang terakhir adalah taqwa yang sejati.Demikianlah pengertian taqwa menurut imam ghozali. Secara umum, taqwa adalah perkataanyang mengungkapakn penghindaran diri dari kemurkaan Allah SWT dan Siksa-Nya. Yaknidengan melaksanakan apa yang diperintah-Nya dan menahan diri dari melakukan segalalarangan-Nya. Hakikat taqwa ialah Tuhan melihat kehadiranmu dimana Dia telahmelarangmu. Tuhan tidak kehilangan kamu dimana Dia telah memerintahkanmu.
- 5. C. Amalan TaqwaAmalan taqwa bukan sebatas apa yang terkandung di dalam rukun islam, sepertisyahadat, sholat, zakat, dan haji saja. Bukan sebatas membaca Al qur’an atau berwirid danberzikir. Amalan taqwa juga tidak dimasjid saja. Amalan taqwa adalah apa saja amalan danperbuatan didalam kehidupan yang dilandaskan syariat, baik itu fardhu, wajib, sunah, mubah,atau apa saja amalan dan perbuatan yang dijauhi dan ditinggalkan baik itu haram dan makruh.Ini termasuklah segala perkara yang berlaku dalam kehidupan baik dalam kehidupankeseharian, dalam bidang ekonomi, pembangunan, pendidikan, kenegaraan, kebudayaan,manajemen, kesehatan dan sebagainya. Asalkan yang dilakukan atau ditinggalkan itu terkaitdan karena Allah, maka itu taqwa. Sedangkan amalan yang tidak terkait dan tidak dilakukankarena Allah, itu adalah amalan yang tidak ada nyawa, jiwa, atau rohnya dan ia tidak adanilainya di sisi-Nya.Begitu pentingnya ketaqwaan bagi seorang muslim, sehingga derajat seorang manusiaditentukan oleh kadar ketaqwaannya kepada Allah. Mulia atau tidaknya seorang manusiabukan ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki atau jabatan yang di duduki. Tidakmustahil jika ada seseorang, jabatannya tinggi, hartanya melimpah, dipuji oleh manusia,tetapi karena tidak bertaqwa kepada Allah maka ia pun tidak memiliki derajat bahkan hinadihadapan Allah SWT. sebaliknya, seorang pemulung yang dicaci dan hina dihadapanmanusia, jika bertaqwa maka ia memiliki derajat yang mulia dihadapan Allah SWT.Derajatnya melebihi seorang pejabat yang dipuji ternyata korupsi. Berbicara juga dapatmenjadi taqwa kalau apa yang di bicarakan itu adalah ilmu, nasihat atau perkara-perkara yangbaik, dan manfaat, dan dilakukan karena Allah. Diam juga dapat menjadi taqwa kalau diamitu untuk mengelakkan dari berkata-kata yang maksiat dan sia-sia atau supaya tidakmenyakiti hati orang dan dilakukan karena takut kepada Allah.Di antara ciri-ciri orang yang bertaqwa kepada Allah itu adalah :1. Gemar menginfaqkan harta bendanya dijalan Allah, baik dalam waktu sempit maupunlapang2. Mampu menahan diri dari sifat marah.3. Selalu memaafkan orang lainyang telah membuat salah kepadanya ( tidakpendendam).4. Tatkala terjerumus pada perbuatan keji dan dosa atau mendzalimi diri sendiri, iasegera ingat Allah, lalu bertaubat, memohon ampun kepada-Nya atas dosa yang telahdilakukan.5. Tidak meneruskan perbuatan keji itu lagi, dengan kesadaran dan sepengetahuandirinya.
- 6. Betapa pentingnya nilai taqwa. Hingga merupakan bekal yang terbaik dalam menjalanikehidupan didunia dan betapa tinggi derajat taqwa, hingga manusia yang paling mulia di sisiAllah adalah orang yang paling taqwa di antara mereka. Dan banyak sekali buah yang akandipetik, hasil yang akan diperoleh dan nikmat yang akan diraih oleh orang yang bertaqwa diantaranya adalah :1. Ia akan memperoleh Al-Furqon yaitu kemampuan untuk membedakan antara yanghaq dan yang batil, halal dan haram, antara yang sunnah dengan bid’ah. Sertakesalahan-kesalahannya dihapus dan dosa-dosanya di ampuni.Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akanmemberikan kepadamu Furqon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmudan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfal: 29)2. Ia akan memperoleh jalan keluar dari segala macam problema yang dihadapinya,amalan-amalan baiknya diterima oleh Allah hingga menjadi berat timbangannya dihari akhir kelak, mudah penghisabannya dan ia menerima kitab catatan amalnyadengan tangan kanan.3. Amalan-amalan baiknya diterima oleh Allah hingga menjadi berat timbangannya dihari kiamat kelak, mudah penghisabannya dan ia menerima kitab catatan amalnyadengan tangan kanan.4. Serta Allah memasukkan ke dalam Surga, kekal di dalamnya serta hidup dalamKeridhoan-Nya.D. Ciri-ciri Masyarakat ModernMasyarakat modern adalah komunitas orang yang hidup bersama dalam suatu tempatdengan ikatan dan aturan-aturan tertentu yang bersifat modern serta penggunaan teknologi.Ciri-ciri pokok masyarakat modern menurut Deliar Noor:1. Bersifat rasional yakni lebih mengutamakan pendapat yang berdasarkan akal.2. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yangbersifat sesaat.3. Menghargai waktu, yakni dengan memafaatkan waktu sebaik-baiknya dan seefektifmungkin sehingga tidak ada waktu yang mubadzir tanpa makna.4. Bersifat terbuka yakni mau menerima kritikan, saran, masukan untuk perbaikan yangdatang dari manapun.
- 7. 5. Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannyabagi masyarakat.6. Tantangan, Problema Dan Resiko Kehidupan Modern.E. Problematika Tantangan dan Resiko dalam Kehidupan ModernDi antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yangsudah established , sehingga sulit sekali memperbaikinya.Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alampikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk(pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orangIslam maupun orang Islam dengan non-Islam.Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai masyarakat yang satudengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagaikehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan ( idz kuntum adaaan ), yaitu suatuwujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.Adopsi modernisme ( werternisme ), kendatipun tidak secara total, yang dilakukanbangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang seminaturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah membuat bangsa Indonesia menjadipemimpi. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme membuat bangsaIndonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambingoleh isme-isme tersebut.Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karenadiadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidangpolitik, selalu muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengannilai-nilai qurani, karena pragmatis dan oportunis.Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadidan pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebihmemprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah,mahasiswa, serta masyarakat. Selain itu masih ada bermacam-macam masalah yang dihadapibangsa Indonesia dalam kehidupan modern.Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan rohyang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang sangat berat dandapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, makaakan melahirkan risiko yang besar.
- 8. Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakanrevolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikanproblema dan tantangan kehidupan modern tersebut.F. Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problem dan Tantangan KehidupanModernPengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakanbeberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allahhendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapatmencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkankepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan padakhurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalahsurat al-Fatihah ayat 1-7.2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak diantaramanusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapiresiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah.Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalamQS. an-Nisa/4:78.3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, arena kepentingan penghidupannya.Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatandan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi.Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.Acapkali manusia dilanda resah dan dukacita, serta digoncang oleh keraguan dankebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram(mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allahsurat ar-Ra’d/13:28.5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan
- 9. kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allahdalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97.6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpapamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen denganapa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Iasenantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162.7. Iman memberi keberuntunganOrang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbingdan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yangberiman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firmanAllah dalam QS. al-Baqarah/2:5.8. Iman mencegah penyakitAkhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuhmanusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatanmanusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum,berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, sepertigerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaianproses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yangmelaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerjabermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofiseyang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofiseditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masihberbentuk zigot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon danselanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.Jika karena terpengaruh tanggapan, baik indera maupun akal, terjadi perubahanfisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti takut, marah, putus asa, danlemah, maka keadaan ini dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu,orang-orang yang dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern,seperti darah tinggi, diabetes dan kanker.Sebaliknya, jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak mengacuhkan asasmoral dan akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidakpernah ingat Allah, maka orang yang seperti ini hidupnya akan diikuti oleh kepanikandan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin danpersenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang negatifterhadap biologi tubuh serta lapisan otak bagian atas. Hilangnya keseimbanganhormon dan kimiawi akan mengakibatkan terganggunya kelancaran prosesmetabolisme zat dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasasedih, dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.
Tradisi Pesantren dalam Tantangan Arus Globalisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi
Pesantren
Kata
tradisi berasal dari bahasa inggris, tradition yang berarti tradisi.
Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti
adat,kebiasaan,kepercayaan atu ajaran ) yang turun tumurun dari nenek moyang
hingga anak cucu. Kata adat tersebut berasal dari bahasa arab ‘awaid yang
artinya habit (kebiasaan), wont, custom, usage (kebiasaan, adat, kebiasaan
,adat istiadat, pemakaian), practice (amalan). Selanjutnya menjadi kata
‘adatan, yang berarti : usually (yang sudah dibiasakan), customarily
(ada kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan) hibitually
(dilakukan karena kebiasaan). Pengertian tradisi ini lebih dekat dengan
pengertian culture, yakni kesopanan dan kebudayaan. Kebudayaan itu
sendiri berarti nilai-nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai
unggul dan baik, selanjutnya dipahami, dihayati dan diamalkan, serta digunakan
alat dalam kehidupan sehari- hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisiplinan,
kemandirian, kerja keras, gotong-royang, kekeluargaan, saling menghormati ,menghargai
perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan juga dekat
dengan kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah
realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
1.
Tradisi Rihlah
Ilmiah
Rihlah
ilmiah secara harfiyah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan
pengertian secara umum adalah melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah
yang lain,atu dari satu negara ke negara yang lain,baik dekat maupun jauh,dan
terkadang bermukim dalam waktu cukup lama,bahkan tidak kembali ke daerah asal
dengan tujuan untuk mencari,menimba,memperdalam dan mengembangkan ilmu
pengetahuan,bahkan mengajarkan dan menulisnya dalam buku dan kitab. Sejarah mencatat,tentang adanya
ulama’ yang terkenl berasal dari Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah ke
Mesir,Makkah dan beberapa negara,beliau-beliau di antaranya: Syekh.Nawawi Al
Banteni (1813-1897) yang rihlah ilmiah ke Makkah ketika berusia 15 tahun hinnga
beliu wafat disana,serta ke negara Suria dan Mesir; Syekh.Mahfud al Tarmasi
(1338H/1919M) yang rihliah ilmiah ke Makkah ketika berusia 6 tahun; K.H.Khalil
Bangkalan (1819-1925) yang bermukim di Makkah selama 12 tahun,K.H.R.
Asnawi Kudus (1861-1959) yang tinggal di
Makkah selama 22 tahun; K.H.Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang bermukim di Makkah
lebih dari 10 tahun. Rihlah ilmiah yang dilakukan para kiai pesentren tersebut
menujukan prestasi yang luar biasa,karena pada saat itu perjalanan ke luar
negeri bukanlah pekerjaan yang mudah,menginggat belum adanya sarana transportasi
yang memadai belum adanya sistem keimigrasian yang tertata dengan baik, serta
sarana dan fasilitas pemukiman di Makkah yang masih sederhana.
2.
Tradisi Menulis
Buku
Tradisi
menulis juga dimiliki oleh K.H.Kholil Bangkalan yang mengkhusukan ilmu fiqih
tentang pernikahan,dan bukan pada masalah-masalah yang lain.Demikian pula
K.H.Asnawi Kudus karyanya antara lain; Fasholatan,Mu’taqad Seked Syariat
islam,dan terjemah al-Jurumiyah tentang tata bahasa arab.Selanjutnya karya yang
di tulis oleh K.H.Hasyim Asy’ari,walaupun karyanya tak sebanyak dengan karya
para kiai diatas,Karya beliu banyak berkaitan dengan masalah
hadist,akhlak,fiqih,dan pendidikan anak.
3.
Tradisi
Meneliti
4. Tradisi Membaca Kitab Kuning
Seorang peneliti asal Belanda, Martin van
Bruinessen, telah meujukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca Kitab
Kuning di pesantren. Melalui bukunya yang berjudul Yellow Book (Kitab
Kuning), Bruinessen menginformasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai
sebagai mana tersebut diatas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz
al-Tirmasi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di
pesantren-pesatren pulau jawa dan sekitarnya. Melalui tradisi mrmbaca kitab
kuning ini, paa kyai telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan
masyarakat pada khususnya dan kehidupan osial kemasyarakatan pad umumnya.
Kuatnya pengaruh ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah di kalangan umat
islsm, yang dicirikan dengan penggunaan paham Asy’ariyah dalam bidang teologi,
penggunaan paham As-Syafi’i dalam bidang fikih, dan penggunaan tasawuf
al-Ghazali dan Imam al-Junaid dalam bidang tasawuf terjadi karena pengaruh dari
tradisi membaca kitab kuning oleh para kyai di pesantren, serta ceramah-ceramah
yang mereka sampaikan di masyarakat.
5. Tradisi Berbahasa Arab.
6. Tradisi Mengamalkan Thariqat
Dari berbagai sumber yang ada,
masyarakat salafiyah yang dibangun oleh dunia pesantren itu mewujudkan kesatuan
tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiousitas dan etika.
Dalam kaiatan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agama.
Bahkan, jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan
masalah-masalah inti (batin), maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan (religiousity)
yang bersifat esoteris. Dari sudut ini, maka ilmu tasawuf tidak tidak
lain adalah penjabaran secara nalar (nazhar) teori ilmiah tentang apa
sebenarnya takwa itu.
Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf
dalam bentuk thariqat di pesantren telah dibuktikan oleh para peneliti.
Abdurrahman Mas’ud misalnya mengatakan: sebagaimana Ahmad Khatib as-Sambas
(w.1878 M), Nawawi adalah penganut sufisme Ghazali. Dia menyarankan kepada masyarakat
untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu
al-Qasim al-Junaid.
7.
Tradisi
Menghafal
8.
Tradisi
Berpolitik
Berkipah
dalam bidang politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu
tradisi di kalangan dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya Nahdatul Ulama (NU)
pada tahun 1926 yang selanjutnya pernah berubah menjadi salah satu partai
politik yang ikut pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an menunjukkan
kuatnya tradisi berpolitik di kalangan pesantren. Demikian munculnya faham
nasionalisme yang berbasis agama yang digagas oleh para kiai K.H. Yasri Marzuki
asal situbondo yang pernah menjadi Ketua Lajnah Bahts al-masail NU; KH.
Saifuddin, asal purworejo Jawa Tengah; KH. Syahid, asal Banyuwangi; KH. Misbah
Abrar, asal Kota Surabaya; KH. Abdurrauf Najih, asal Kabupaten Sampang, Madura;
K. Syarif Djamhari, asal Jember; KH. Masyhudi Ma’ruf, asal Kabupaten Jepara,
Jawa Tengah; KH. Hasyim Arkhas, asal Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah; dan KH.
Zuhdi Zaindi asal Tubuiren Jombang, menunjukkan kuatnya tradisi
politik dikalangan pesantren.
9.
Tradisi Lainnya
Tradisi
lainnya yang dipraktikkan dipesantren yang lebih bersifat sosial keagamaan,
adalah tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka menghasilkan
keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak lagi. Selain itu, terdapat pula
tradisi ziarah kubur, terutama kuburan para kiai thariqat yang kharismatik;
tradisi haulan, yakni mengirim do’a tahunan kepada pimpinan pesantren yang
sudah meninggal; tradisi silaturahmi dengan sesama rekan para santri.
B.
Tantangan Era
Globalisasi bagi Dunia Pesantren
Menurut
Azyumardi Azra, bahwa globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali
bagi masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya, bahwa pembentukan dan
perkembangan masyarakat Muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya
berbagai gelombang global secara konstan dari waktu kewaktu. Sumber globalisasi
itu adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula makkah dan madinah, dan sejak
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga kairo. Karena itu, seperti bisa
diduga, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio
politik.
Selain
itu, globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya”
berbagai negara dalam globe menjadi satuentitas. Globalisasi secara istilah
berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa
yang memengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia,
organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia.
Globalisasi
memengaruhi tradisi budaya, agama, filsafat, politik dan hukum yang telah ada,
bahwa modernitas yang muncul dari pemikiran pencerahan pun tidak luput dari
pengaruh tersebut. Itulah sebabnya, sejak 1980-an, banyak pengamat, pemikir dan
peneliti, khususnya di Amerika Serikat, bicara tentang pasca-modernisasi.
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang demikian itu, dunia pesantren sudah
memiliki pengalaman yang panjang dan kaya, yang secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Dalam Menghadapi Kemajuan Iptek
Secara
historis, pesantren pada mulanya mengonsentrasikan diri pada tiga fungsi
utamanya, yaitu: 1) mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran Islam (transfer
of Islamic knowledge) kepada masyarakat luas; 2) mencetak para ulama (reproduction
of ulama), dan 3) menanamkan tradisi Islam ke dalam masyarakat (transmission
of Islamic trdition). Dalam perkembangan selanjutnya pesantren berada di
bawah hegemoni Nahdatul Ulama. Sejarah mencatat, bahwa NU pada mulanya lahir
sebgai upaya mempertahankan tradisi Islam sebagaimana terdapat dalam ajaran
kitab kuning dan yang dipraktikkan masyarakat dan mengonsentrasikan pada ilmu
agama Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya mengimbangi misi Muhammadiyah yang
berupaya membersihkan Islam dari tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan
ajaran Islam, yakni unsur takhayyul, bid’ah, dan churafat yang
selanjutnya dikenal sebagai TBC. Untuk lebih mendukung keberhasilannya dalam
melakukan modernisasi di kalangan pesantren, NU berupaya membentuk berbagai
lembaga yang secara sungguh-sungguh bekerja untuk itu. Di antara lembaga
tersebut adalah Forum Studi Agama dan Sosial (FSAS) dijepara, Pusat
Pengembangan Pondok Pesantren dan Madrasah (P3M) di Jakarta, Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LkiS).
2.
Dalam
Menghadapi Budaya Barat
dalam menghadapi budaya barat yang hendonisti, materialistik,
pragmatis dan sekuralistik yang berdampak pada dekadensi moral, dunia pesantren
diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter
bangsa. Melalui nilai religiusitas yang berbasis pada ajaran tasawuf yang
ditanamkan di pesantren, melalui pembiasaan, bimbingan, keteladanan dan
pengamalan yang dilakukan secara berkelanjutan (istiqamah) dan berada
dibawah pengawasan langsung para kiai, menyebabkan pembentukan karakter atau
akhlak mulia para santri di pesantren dapat berlangsung secara efektif. Dalam
hubungan ini K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi berpendapat sebagai berikut.
3.
Dalam
Menghadapi Persaingan Bisnis Pendidikan
Dalam
menghadapi persaingan bisnis pendidikan, dunia pesantren yang berdasarkan pada
tradisi sufistik yang berbasis pada motivasi keagamaan serta berbasis pada
masyarakat, ia akan tetap melaksanakan tugas utamanya menghasilakan ulama,
mendidik moral masyarakat melalui ajaran Islam dan menanamkan tradisi Islami.
Hal yang demikian terjadi, karena pesantren lahir, tumbuh dan berkembang dari
dan untuk masyarakat. Sampai saat ini, pesantren masih tetap eksis dan mampu
bertahan sebagai model pendidikan alternatif, meski harus bersaing dengan
tumbuhnya pendidikan modern dan sekuler. Hal ini terjadi karena pesantren
memiliki kedekatan dengan masyarakat. Hubungan pesantren dengan masyarakat
selain menjadi bahan pemicu bagi perlunya memenuhi kebutuhan masyarakat yang
semakin modern, juga akan memberi peluang bagi pesantren untuk menanamkan moral
Islami.
4.
Dalam
Menghadapi Tuduhan Miring
5.
Dalam
Mengembangkan Ilmu Agama
Dari
sejak kelahirannya, pesantren senantiasa menjadi tumpuan masyarakat untuk
memperoleh jawaban atas berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kaitannya
dengan ajaran agama. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama teknologi komunikasi, dan banyak permasalahan kontemporer yang tumbuh
di masyarakat, dunia pesantren melalui tokoh utamanya para kiai harus
memberikan jawaban dan respons yang cepat dan tepat dan tuntas. Tugas dan peran
yang demikian itu masih tetap dapat dijawab oleh para kiai melalui hasil kajian
dan penelitiannya.
Langganan:
Komentar (Atom)