Selasa, 10 Desember 2013

Tradisi Pesantren dalam Tantangan Arus Globalisasi



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tradisi Pesantren
            Kata tradisi berasal dari bahasa inggris, tradition yang berarti tradisi. Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat,kebiasaan,kepercayaan atu ajaran ) yang turun tumurun dari nenek moyang hingga anak cucu. Kata adat tersebut berasal dari bahasa arab ‘awaid yang artinya habit (kebiasaan), wont, custom, usage (kebiasaan, adat, kebiasaan ,adat istiadat, pemakaian), practice (amalan). Selanjutnya menjadi kata ‘adatan, yang berarti : usually (yang sudah dibiasakan), customarily (ada kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan) hibitually (dilakukan karena kebiasaan). Pengertian tradisi ini lebih dekat dengan pengertian culture, yakni kesopanan dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri berarti nilai-nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai unggul dan baik, selanjutnya dipahami, dihayati dan diamalkan, serta digunakan alat dalam kehidupan sehari- hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, gotong-royang, kekeluargaan, saling menghormati ,menghargai perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan juga dekat dengan kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Flowchart: Punched Tape:    3          Sedangkan kata “Pesantren” berasal dari kata “pesantrian” yang berarti asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji. Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa yang dimksud dengan tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktikan di pesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehinnga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya. Beberapa tradisi pesantren sebagai berikut, diantaranya :
1.      Tradisi Rihlah Ilmiah
                        Rihlah ilmiah secara harfiyah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan pengertian secara umum adalah melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah yang lain,atu dari satu negara ke negara yang lain,baik dekat maupun jauh,dan terkadang bermukim dalam waktu cukup lama,bahkan tidak kembali ke daerah asal dengan tujuan untuk mencari,menimba,memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan,bahkan mengajarkan dan menulisnya dalam buku  dan kitab. Sejarah mencatat,tentang adanya ulama’ yang terkenl berasal dari Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah ke Mesir,Makkah dan beberapa negara,beliau-beliau di antaranya: Syekh.Nawawi Al Banteni (1813-1897) yang rihlah ilmiah ke Makkah ketika berusia 15 tahun hinnga beliu wafat disana,serta ke negara Suria dan Mesir; Syekh.Mahfud al Tarmasi (1338H/1919M) yang rihliah ilmiah ke Makkah ketika berusia 6 tahun; K.H.Khalil Bangkalan (1819-1925) yang bermukim di Makkah selama 12 tahun,K.H.R. Asnawi  Kudus (1861-1959) yang tinggal di Makkah selama 22 tahun; K.H.Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang bermukim di Makkah lebih dari 10 tahun. Rihlah ilmiah yang dilakukan para kiai pesentren tersebut menujukan prestasi yang luar biasa,karena pada saat itu perjalanan ke luar negeri bukanlah pekerjaan yang mudah,menginggat belum adanya sarana transportasi yang memadai belum adanya sistem keimigrasian yang tertata dengan baik, serta sarana dan fasilitas pemukiman di Makkah yang masih sederhana.

2.      Tradisi Menulis Buku
Flowchart: Punched Tape:    4                        Menulis buku adalah tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren.Seperti nama para kiai yang telah disebutkan di atas merupakan para penulis yang produktif. Syekh.Nawawi al Banteni,menulis lebih dari 100 judul kitab yang terbagi kedalam 9 bidang ilmu,yaitu tafsir,fiqh,ushuludin,ilmu tauhid,tasawuf,sejarah kehidupan Nabi S.a.w, tata bahasa arab,hadist dan akhlak.Karyanya yang terkenal adalah Tafsir al-Munir al-Tanzil,atau dalam judul lain,Marah Labid Tafsir an-Nawawi,yang berjumlah 985 halaman dan di bagi ke dalam 2 jilid,dan diterbitkan pertama kali di Kairo,pada tahun 1305H.Kitab-kitab Nawawi lainnya yang cukup penting adalah Syarh Sullam al-Munajah,Nihayah al-Zain,Tausiah ‘ala Fathul Qorib dan Sulam al-Taufiq. Selanjutnya,Mahfud al-Tarmisi,kitab karangannya antara lain: Al-Siqoyah al-Marodhiyahfi asma khutub al-fiqhiyah al-Safi’i,al-Minhaj al-Khoiriyah fi ArbainHaditsan min Ahadis Khair al-Bariyah dan lain-lain masih banyak karangan beliau. Mahfud al-Tarmisi sangat dalam bidang ilmu Hadist,selain itu juga dalam ilmu Faro’id,qiro’at,tata bahasa arab dan fiqih.
            Tradisi menulis juga dimiliki oleh K.H.Kholil Bangkalan yang mengkhusukan ilmu fiqih tentang pernikahan,dan bukan pada masalah-masalah yang lain.Demikian pula K.H.Asnawi Kudus karyanya antara lain; Fasholatan,Mu’taqad Seked Syariat islam,dan terjemah al-Jurumiyah tentang tata bahasa arab.Selanjutnya karya yang di tulis oleh K.H.Hasyim Asy’ari,walaupun karyanya tak sebanyak dengan karya para kiai diatas,Karya beliu banyak berkaitan dengan masalah hadist,akhlak,fiqih,dan pendidikan anak.

3.      Tradisi Meneliti
Flowchart: Punched Tape:    5                        Dilihat dari segi sumbernya terdapat penelitian bayani,burhani,ijbari,jadali,dan ‘irfani.Penelitian bayani adalah penelitian yang berkaitan dengan kandungan Al-Qur’an,Al Sunnah,dengan bekal pengusaan bahasa arab,ilmu tafsir,ilmu hadist,ilmu ushul fiqih,ilmu Qowaid al Fiqhiyah,dengan penelitian ini dihasilkan ilmu-ilmu agama,seperti tafsir,hadist,fiqih,kalam,tasawuf.Penelitian burhani adalah: penelitian yang berkaitan dengan dengan fenomena sosial.Dengan penelitian ini dihasilkan ilmu-ilmu sosial: ekonomi,politik,budaya,pendidikan,hukum,Penelitian ijbari,berkaitan dengan fenomena alam fisik jagat raya dengan mengunakan percobaan di laboratorium.Peneliian ini menghasilkan teori-teori tentang sains,seperti fisika,biologi,kimia,dan astronomi.Penelitian jadali berkaitan dengan upaya memahami berbagai makna dan hakekat segala sesuatudengan jalan mengunakan akal secara spekulatif,sistematik,radikal,universal,dan mendalam.Sedangkan penelitian ‘Irfani adalah penelitian yang berkaitan dengan upaya mendapatkan ilmu secara langsung dengan menggunakan kekuatan batin.Hasilnya adalah ilmu tasawuf.
4.      Tradisi Membaca Kitab Kuning
                        Seorang peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, telah meujukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca Kitab Kuning di pesantren. Melalui bukunya yang berjudul Yellow Book (Kitab Kuning), Bruinessen menginformasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai sebagai mana tersebut diatas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al-Tirmasi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di pesantren-pesatren pulau jawa dan sekitarnya. Melalui tradisi mrmbaca kitab kuning ini, paa kyai telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan kehidupan osial kemasyarakatan pad umumnya. Kuatnya pengaruh ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah di kalangan umat islsm, yang dicirikan dengan penggunaan paham Asy’ariyah dalam bidang teologi, penggunaan paham As-Syafi’i dalam bidang fikih, dan penggunaan tasawuf al-Ghazali dan Imam al-Junaid dalam bidang tasawuf terjadi karena pengaruh dari tradisi membaca kitab kuning oleh para kyai di pesantren, serta ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di masyarakat.

5.      Tradisi Berbahasa Arab.
Flowchart: Punched Tape:    6                        Seiring dengan adanya tradisi penulisan kitab-kitab oleh para kyai sebagaimana tersebut di atas menggunakan bahasa Arab, dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi, berbahasa arab yang kuat dikalangan pesantren. Hal ini terjadi karena ulama yang bermukim di Makkah  memiliki kemampuan tradisi berbahasa Arab yang kuat sebagai akibat dari kehidupan mereka sehari-hari dalam lingkungan masyarakat Timur Tengah yang berbahasa arab, serta kitab-kitab yang mereka pelajari menggunakan bahasa Arab. Demikian pula bahasa yang digunakan ketika shalat dan berdo’a adalah bahasa arab. Selain itu, penggunaan bahasa Arab terjadi karena pengaruh dari kejayaan Islam di zaman klasik yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban.

6.      Tradisi Mengamalkan Thariqat
                        Dari berbagai sumber yang ada, masyarakat salafiyah yang dibangun oleh dunia pesantren itu mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiousitas dan etika. Dalam kaiatan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agama. Bahkan, jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah inti (batin), maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan (religiousity) yang bersifat esoteris. Dari sudut ini, maka ilmu tasawuf tidak tidak lain adalah penjabaran secara nalar (nazhar) teori ilmiah tentang apa sebenarnya takwa itu.
                        Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf dalam bentuk thariqat di pesantren telah dibuktikan oleh para peneliti. Abdurrahman Mas’ud misalnya mengatakan: sebagaimana Ahmad Khatib as-Sambas (w.1878 M), Nawawi adalah penganut sufisme Ghazali. Dia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu al-Qasim al-Junaid.

7.      Tradisi Menghafal
Flowchart: Punched Tape:    7Flowchart: Punched Tape:    7            Mengahafal adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran. Caranya dimulai dengan belajar mata teks kitab, memberi arti pada setiap teks, memahaminya dengan benar, dan kemudian menghafalnya di luar kepala. Metode menghafal ini umumnya dilakukan terhadap materi pelajaran tingkat dasar yang terdapat dalam kitab-kitab materi pokok atau yang dikenal dengan matan. Salah satu kitab yang wajib dihafal tersebut adalah Matan Alfiyah Ibn Malik yang berjumlah 1000 bait, yang dihafal pada  setiap sebelum melaksanakan sahalat berjamaah lima waktu, secara bersama-sama.
8.      Tradisi Berpolitik
            Berkipah dalam bidang politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu tradisi di kalangan dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926 yang selanjutnya pernah berubah menjadi salah satu partai politik yang ikut pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an menunjukkan kuatnya tradisi berpolitik di kalangan pesantren. Demikian munculnya faham nasionalisme yang berbasis agama yang digagas oleh para kiai K.H. Yasri Marzuki asal situbondo yang pernah menjadi Ketua Lajnah Bahts al-masail NU; KH. Saifuddin, asal purworejo Jawa Tengah; KH. Syahid, asal Banyuwangi; KH. Misbah Abrar, asal Kota Surabaya; KH. Abdurrauf Najih, asal Kabupaten Sampang, Madura; K. Syarif Djamhari, asal Jember; KH. Masyhudi Ma’ruf, asal Kabupaten Jepara, Jawa Tengah; KH. Hasyim Arkhas, asal Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah; dan KH. Zuhdi Zaindi asal Tubuiren Jombang, menunjukkan kuatnya  tradisi  politik dikalangan pesantren.

9.      Tradisi Lainnya
            Tradisi lainnya yang dipraktikkan dipesantren yang lebih bersifat sosial keagamaan, adalah tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka menghasilkan keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak lagi. Selain itu, terdapat pula tradisi ziarah kubur, terutama kuburan para kiai thariqat yang kharismatik; tradisi haulan, yakni mengirim do’a tahunan kepada pimpinan pesantren yang sudah meninggal; tradisi silaturahmi dengan sesama rekan para santri.

Flowchart: Punched Tape:    8
 

B.     Tantangan Era Globalisasi bagi Dunia Pesantren
            Menurut Azyumardi Azra, bahwa globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya, bahwa pembentukan dan perkembangan masyarakat Muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu kewaktu. Sumber globalisasi itu adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula makkah dan madinah, dan sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga kairo. Karena itu, seperti bisa diduga, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio politik.
            Selain itu, globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satuentitas. Globalisasi secara istilah berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang memengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia.
            Globalisasi memengaruhi tradisi budaya, agama, filsafat, politik dan hukum yang telah ada, bahwa modernitas yang muncul dari pemikiran pencerahan pun tidak luput dari pengaruh tersebut. Itulah sebabnya, sejak 1980-an, banyak pengamat, pemikir dan peneliti, khususnya di Amerika Serikat, bicara tentang pasca-modernisasi.
Flowchart: Punched Tape:    9Flowchart: Punched Tape:    9            Damapak yang ditimbulkan globalisasi barat tersebut pada tahap selanjutnya menimbulkan paradigma baru dalam dunia pendidikan. Seluruh komponen pendidikan: visi, misi, tujuan kurikulum, proses belajar mengajar, guru, mutu lulusan, lingkungan, evaluasi dan lainnya dipengaruhi oleh paradigma pendidikan Barat yang ciri-cirinya antara lain: 1) menganggap usaha pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan; 2) menganggap biaya pendidikan sebagai investasi yangtunduk pada hukum transaksional; 3) mengutamakan pengetahuan yang hanya berbasis pengamatan empiris dan penalaran; 4) menempatkan guru sebagai fasilitator; 5) menganggap peserta didik sebagai customer yang hanya dimanjakan; 6) memandang hasil pendidikan yang harus dikaitkan kebutuhan dunia; 7) pengelolaan pendidikan dengan menggunakan manajemen perusahaan bisnis (corporate).
            Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang demikian itu, dunia pesantren sudah memiliki pengalaman yang panjang dan kaya, yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.      Dalam Menghadapi Kemajuan Iptek
      Secara historis, pesantren pada mulanya mengonsentrasikan diri pada tiga fungsi utamanya, yaitu: 1) mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran Islam (transfer of Islamic knowledge) kepada masyarakat luas; 2) mencetak para ulama (reproduction of ulama), dan 3) menanamkan tradisi Islam ke dalam masyarakat (transmission of Islamic trdition). Dalam perkembangan selanjutnya pesantren berada di bawah hegemoni Nahdatul Ulama. Sejarah mencatat, bahwa NU pada mulanya lahir sebgai upaya mempertahankan tradisi Islam sebagaimana terdapat dalam ajaran kitab kuning dan yang dipraktikkan masyarakat dan mengonsentrasikan pada ilmu agama Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya mengimbangi misi Muhammadiyah yang berupaya membersihkan Islam dari tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam, yakni unsur takhayyul, bid’ah, dan churafat yang selanjutnya dikenal sebagai TBC. Untuk lebih mendukung keberhasilannya dalam melakukan modernisasi di kalangan pesantren, NU berupaya membentuk berbagai lembaga yang secara sungguh-sungguh bekerja untuk itu. Di antara lembaga tersebut adalah Forum Studi Agama dan Sosial (FSAS) dijepara, Pusat Pengembangan Pondok Pesantren dan Madrasah (P3M) di Jakarta, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS).
Flowchart: Punched Tape:   10Flowchart: Punched Tape:   10      Selain itu, dunia pesantren juga melakukan inovasi terhadap kurikulum dan kelembagaan pendidikannya, mulai dari yang bercorak tafaqquh fi al-din sistem salafiyah yang berbasis pada kitab kuning, hingga pada madrasah diniyah, madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, sekolah umum, sekolah kejuruan, akademi, sekolah tinggi, institut, hingga universitas. Menurut Dawam Rahardjo, bahwa pesantren dan madrasah saat ini dianggap sebagai The Centre of Exellent, karena disambut positif oleh masyarakat modern, dan dianggap sebagai bagian dari keperluan hidupnya. Mereka merasa lebih mantap memasukkan putra-putrinya ke madrasah pesantren. Kini madrasah dianggap sekolah plus, karena selain memberikan pengetahuan umum, juga mengutamakan penanaman pengajaran keagamaan yang tidak terbatas pada ranah kognitif, tetapijuga masuk pada ranah etika, moral dan tingkah laku. Dengan cara demikian itu, maka pesantren tidak akan ditinggalkan masyarakat, malah semakin diminati.

2.      Dalam Menghadapi Budaya Barat
      dalam menghadapi budaya barat yang hendonisti, materialistik, pragmatis dan sekuralistik yang berdampak pada dekadensi moral, dunia pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter bangsa. Melalui nilai religiusitas yang berbasis pada ajaran tasawuf yang ditanamkan di pesantren, melalui pembiasaan, bimbingan, keteladanan dan pengamalan yang dilakukan secara berkelanjutan (istiqamah) dan berada dibawah pengawasan langsung para kiai, menyebabkan pembentukan karakter atau akhlak mulia para santri di pesantren dapat berlangsung secara efektif. Dalam hubungan ini K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi berpendapat sebagai berikut.
Flowchart: Punched Tape:   11Flowchart: Punched Tape:   11      Secara garis besar ada tiga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap istiqomah dan konsisten dalam melaksanakan misinya, yaitu nilai, sistem dan materi pendidikan pondok pesantren. Aspek pertama: nilai-nilai ke-Islamannya dan pendidikan jiwa, falsafah hidup santri, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyan dan kebebasan. Aspek kedua, sistem asrama yang penuh disiplin dan tercipta dari pusat pendidikan: sekolak (formal), keluarga (informal), dan masyarakat (non formal). Aspek ketiga, adalah materi ilmu agama (revealed knoeledge) dan ilmu kauniyah (acquired knowledge).

3.      Dalam Menghadapi Persaingan Bisnis Pendidikan
      Dalam menghadapi persaingan bisnis pendidikan, dunia pesantren yang berdasarkan pada tradisi sufistik yang berbasis pada motivasi keagamaan serta berbasis pada masyarakat, ia akan tetap melaksanakan tugas utamanya menghasilakan ulama, mendidik moral masyarakat melalui ajaran Islam dan menanamkan tradisi Islami. Hal yang demikian terjadi, karena pesantren lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Sampai saat ini, pesantren masih tetap eksis dan mampu bertahan sebagai model pendidikan alternatif, meski harus bersaing dengan tumbuhnya pendidikan modern dan sekuler. Hal ini terjadi karena pesantren memiliki kedekatan dengan masyarakat. Hubungan pesantren dengan masyarakat selain menjadi bahan pemicu bagi perlunya memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin modern, juga akan memberi peluang bagi pesantren untuk menanamkan moral Islami.

4.      Dalam Menghadapi Tuduhan Miring
Flowchart: Punched Tape:   12      Dalam dua dekade terakhir muncul tuduhan miring dari barat terhadap pesantren. Mereka misalnya mengaitkan pesantren sebgai tempat melakukan kaderisasi para teroris atau kaum radikalis yang sering meresahkan masyarakat luas, menganggu stabilitas nasional dan menimbulkan citra negatif terhadap negara Indonesia. Pada bagian tersebut di atas telah disebutkan, bahwa di kalangan para kiai pimpinan pondik pesantren, seperti K.H.Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan lainnya telah tumbuh semangat nasionalisme yang kuat yang dibuktikan dengan keikutsertaan mereka dalam membebaskan Indonesia dari cengkraman kaum penjajah.

5.      Dalam Mengembangkan Ilmu Agama
      Dari sejak kelahirannya, pesantren senantiasa menjadi tumpuan masyarakat untuk memperoleh jawaban atas berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kaitannya dengan ajaran agama. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi, dan banyak permasalahan kontemporer yang tumbuh di masyarakat, dunia pesantren melalui tokoh utamanya para kiai harus memberikan jawaban dan respons yang cepat dan tepat dan tuntas. Tugas dan peran yang demikian itu masih tetap dapat dijawab oleh para kiai melalui hasil kajian dan penelitiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar