BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi
Pesantren
Kata
tradisi berasal dari bahasa inggris, tradition yang berarti tradisi.
Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti
adat,kebiasaan,kepercayaan atu ajaran ) yang turun tumurun dari nenek moyang
hingga anak cucu. Kata adat tersebut berasal dari bahasa arab ‘awaid yang
artinya habit (kebiasaan), wont, custom, usage (kebiasaan, adat, kebiasaan
,adat istiadat, pemakaian), practice (amalan). Selanjutnya menjadi kata
‘adatan, yang berarti : usually (yang sudah dibiasakan), customarily
(ada kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan) hibitually
(dilakukan karena kebiasaan). Pengertian tradisi ini lebih dekat dengan
pengertian culture, yakni kesopanan dan kebudayaan. Kebudayaan itu
sendiri berarti nilai-nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai
unggul dan baik, selanjutnya dipahami, dihayati dan diamalkan, serta digunakan
alat dalam kehidupan sehari- hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisiplinan,
kemandirian, kerja keras, gotong-royang, kekeluargaan, saling menghormati ,menghargai
perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan juga dekat
dengan kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah
realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
1.
Tradisi Rihlah
Ilmiah
Rihlah
ilmiah secara harfiyah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan
pengertian secara umum adalah melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah
yang lain,atu dari satu negara ke negara yang lain,baik dekat maupun jauh,dan
terkadang bermukim dalam waktu cukup lama,bahkan tidak kembali ke daerah asal
dengan tujuan untuk mencari,menimba,memperdalam dan mengembangkan ilmu
pengetahuan,bahkan mengajarkan dan menulisnya dalam buku dan kitab. Sejarah mencatat,tentang adanya
ulama’ yang terkenl berasal dari Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah ke
Mesir,Makkah dan beberapa negara,beliau-beliau di antaranya: Syekh.Nawawi Al
Banteni (1813-1897) yang rihlah ilmiah ke Makkah ketika berusia 15 tahun hinnga
beliu wafat disana,serta ke negara Suria dan Mesir; Syekh.Mahfud al Tarmasi
(1338H/1919M) yang rihliah ilmiah ke Makkah ketika berusia 6 tahun; K.H.Khalil
Bangkalan (1819-1925) yang bermukim di Makkah selama 12 tahun,K.H.R.
Asnawi Kudus (1861-1959) yang tinggal di
Makkah selama 22 tahun; K.H.Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang bermukim di Makkah
lebih dari 10 tahun. Rihlah ilmiah yang dilakukan para kiai pesentren tersebut
menujukan prestasi yang luar biasa,karena pada saat itu perjalanan ke luar
negeri bukanlah pekerjaan yang mudah,menginggat belum adanya sarana transportasi
yang memadai belum adanya sistem keimigrasian yang tertata dengan baik, serta
sarana dan fasilitas pemukiman di Makkah yang masih sederhana.
2.
Tradisi Menulis
Buku
Tradisi
menulis juga dimiliki oleh K.H.Kholil Bangkalan yang mengkhusukan ilmu fiqih
tentang pernikahan,dan bukan pada masalah-masalah yang lain.Demikian pula
K.H.Asnawi Kudus karyanya antara lain; Fasholatan,Mu’taqad Seked Syariat
islam,dan terjemah al-Jurumiyah tentang tata bahasa arab.Selanjutnya karya yang
di tulis oleh K.H.Hasyim Asy’ari,walaupun karyanya tak sebanyak dengan karya
para kiai diatas,Karya beliu banyak berkaitan dengan masalah
hadist,akhlak,fiqih,dan pendidikan anak.
3.
Tradisi
Meneliti
4. Tradisi Membaca Kitab Kuning
Seorang peneliti asal Belanda, Martin van
Bruinessen, telah meujukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca Kitab
Kuning di pesantren. Melalui bukunya yang berjudul Yellow Book (Kitab
Kuning), Bruinessen menginformasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai
sebagai mana tersebut diatas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz
al-Tirmasi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di
pesantren-pesatren pulau jawa dan sekitarnya. Melalui tradisi mrmbaca kitab
kuning ini, paa kyai telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan
masyarakat pada khususnya dan kehidupan osial kemasyarakatan pad umumnya.
Kuatnya pengaruh ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah di kalangan umat
islsm, yang dicirikan dengan penggunaan paham Asy’ariyah dalam bidang teologi,
penggunaan paham As-Syafi’i dalam bidang fikih, dan penggunaan tasawuf
al-Ghazali dan Imam al-Junaid dalam bidang tasawuf terjadi karena pengaruh dari
tradisi membaca kitab kuning oleh para kyai di pesantren, serta ceramah-ceramah
yang mereka sampaikan di masyarakat.
5. Tradisi Berbahasa Arab.
6. Tradisi Mengamalkan Thariqat
Dari berbagai sumber yang ada,
masyarakat salafiyah yang dibangun oleh dunia pesantren itu mewujudkan kesatuan
tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiousitas dan etika.
Dalam kaiatan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agama.
Bahkan, jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan
masalah-masalah inti (batin), maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan (religiousity)
yang bersifat esoteris. Dari sudut ini, maka ilmu tasawuf tidak tidak
lain adalah penjabaran secara nalar (nazhar) teori ilmiah tentang apa
sebenarnya takwa itu.
Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf
dalam bentuk thariqat di pesantren telah dibuktikan oleh para peneliti.
Abdurrahman Mas’ud misalnya mengatakan: sebagaimana Ahmad Khatib as-Sambas
(w.1878 M), Nawawi adalah penganut sufisme Ghazali. Dia menyarankan kepada masyarakat
untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu
al-Qasim al-Junaid.
7.
Tradisi
Menghafal
8.
Tradisi
Berpolitik
Berkipah
dalam bidang politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu
tradisi di kalangan dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya Nahdatul Ulama (NU)
pada tahun 1926 yang selanjutnya pernah berubah menjadi salah satu partai
politik yang ikut pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an menunjukkan
kuatnya tradisi berpolitik di kalangan pesantren. Demikian munculnya faham
nasionalisme yang berbasis agama yang digagas oleh para kiai K.H. Yasri Marzuki
asal situbondo yang pernah menjadi Ketua Lajnah Bahts al-masail NU; KH.
Saifuddin, asal purworejo Jawa Tengah; KH. Syahid, asal Banyuwangi; KH. Misbah
Abrar, asal Kota Surabaya; KH. Abdurrauf Najih, asal Kabupaten Sampang, Madura;
K. Syarif Djamhari, asal Jember; KH. Masyhudi Ma’ruf, asal Kabupaten Jepara,
Jawa Tengah; KH. Hasyim Arkhas, asal Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah; dan KH.
Zuhdi Zaindi asal Tubuiren Jombang, menunjukkan kuatnya tradisi
politik dikalangan pesantren.
9.
Tradisi Lainnya
Tradisi
lainnya yang dipraktikkan dipesantren yang lebih bersifat sosial keagamaan,
adalah tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka menghasilkan
keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak lagi. Selain itu, terdapat pula
tradisi ziarah kubur, terutama kuburan para kiai thariqat yang kharismatik;
tradisi haulan, yakni mengirim do’a tahunan kepada pimpinan pesantren yang
sudah meninggal; tradisi silaturahmi dengan sesama rekan para santri.
B.
Tantangan Era
Globalisasi bagi Dunia Pesantren
Menurut
Azyumardi Azra, bahwa globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali
bagi masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya, bahwa pembentukan dan
perkembangan masyarakat Muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya
berbagai gelombang global secara konstan dari waktu kewaktu. Sumber globalisasi
itu adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula makkah dan madinah, dan sejak
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga kairo. Karena itu, seperti bisa
diduga, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio
politik.
Selain
itu, globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya”
berbagai negara dalam globe menjadi satuentitas. Globalisasi secara istilah
berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa
yang memengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia,
organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia.
Globalisasi
memengaruhi tradisi budaya, agama, filsafat, politik dan hukum yang telah ada,
bahwa modernitas yang muncul dari pemikiran pencerahan pun tidak luput dari
pengaruh tersebut. Itulah sebabnya, sejak 1980-an, banyak pengamat, pemikir dan
peneliti, khususnya di Amerika Serikat, bicara tentang pasca-modernisasi.
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang demikian itu, dunia pesantren sudah
memiliki pengalaman yang panjang dan kaya, yang secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Dalam Menghadapi Kemajuan Iptek
Secara
historis, pesantren pada mulanya mengonsentrasikan diri pada tiga fungsi
utamanya, yaitu: 1) mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran Islam (transfer
of Islamic knowledge) kepada masyarakat luas; 2) mencetak para ulama (reproduction
of ulama), dan 3) menanamkan tradisi Islam ke dalam masyarakat (transmission
of Islamic trdition). Dalam perkembangan selanjutnya pesantren berada di
bawah hegemoni Nahdatul Ulama. Sejarah mencatat, bahwa NU pada mulanya lahir
sebgai upaya mempertahankan tradisi Islam sebagaimana terdapat dalam ajaran
kitab kuning dan yang dipraktikkan masyarakat dan mengonsentrasikan pada ilmu
agama Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya mengimbangi misi Muhammadiyah yang
berupaya membersihkan Islam dari tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan
ajaran Islam, yakni unsur takhayyul, bid’ah, dan churafat yang
selanjutnya dikenal sebagai TBC. Untuk lebih mendukung keberhasilannya dalam
melakukan modernisasi di kalangan pesantren, NU berupaya membentuk berbagai
lembaga yang secara sungguh-sungguh bekerja untuk itu. Di antara lembaga
tersebut adalah Forum Studi Agama dan Sosial (FSAS) dijepara, Pusat
Pengembangan Pondok Pesantren dan Madrasah (P3M) di Jakarta, Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LkiS).
2.
Dalam
Menghadapi Budaya Barat
dalam menghadapi budaya barat yang hendonisti, materialistik,
pragmatis dan sekuralistik yang berdampak pada dekadensi moral, dunia pesantren
diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter
bangsa. Melalui nilai religiusitas yang berbasis pada ajaran tasawuf yang
ditanamkan di pesantren, melalui pembiasaan, bimbingan, keteladanan dan
pengamalan yang dilakukan secara berkelanjutan (istiqamah) dan berada
dibawah pengawasan langsung para kiai, menyebabkan pembentukan karakter atau
akhlak mulia para santri di pesantren dapat berlangsung secara efektif. Dalam
hubungan ini K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi berpendapat sebagai berikut.
3.
Dalam
Menghadapi Persaingan Bisnis Pendidikan
Dalam
menghadapi persaingan bisnis pendidikan, dunia pesantren yang berdasarkan pada
tradisi sufistik yang berbasis pada motivasi keagamaan serta berbasis pada
masyarakat, ia akan tetap melaksanakan tugas utamanya menghasilakan ulama,
mendidik moral masyarakat melalui ajaran Islam dan menanamkan tradisi Islami.
Hal yang demikian terjadi, karena pesantren lahir, tumbuh dan berkembang dari
dan untuk masyarakat. Sampai saat ini, pesantren masih tetap eksis dan mampu
bertahan sebagai model pendidikan alternatif, meski harus bersaing dengan
tumbuhnya pendidikan modern dan sekuler. Hal ini terjadi karena pesantren
memiliki kedekatan dengan masyarakat. Hubungan pesantren dengan masyarakat
selain menjadi bahan pemicu bagi perlunya memenuhi kebutuhan masyarakat yang
semakin modern, juga akan memberi peluang bagi pesantren untuk menanamkan moral
Islami.
4.
Dalam
Menghadapi Tuduhan Miring
5.
Dalam
Mengembangkan Ilmu Agama
Dari
sejak kelahirannya, pesantren senantiasa menjadi tumpuan masyarakat untuk
memperoleh jawaban atas berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kaitannya
dengan ajaran agama. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama teknologi komunikasi, dan banyak permasalahan kontemporer yang tumbuh
di masyarakat, dunia pesantren melalui tokoh utamanya para kiai harus
memberikan jawaban dan respons yang cepat dan tepat dan tuntas. Tugas dan peran
yang demikian itu masih tetap dapat dijawab oleh para kiai melalui hasil kajian
dan penelitiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar